Rabu, 20 Juni 2012

MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH


Musyarakah dan Mudharabah
A. Musyarakah
  1. Pengertian
Secara bahasa musyarakah berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam istilah fikih syirkah adalah suatu akad antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan.
Menurut Hanafiyah syirkah adalah :
Perjanjian antara dua pihak yang bersyarikat mengenai pokok harta dan keuntungannya.
Menurut ulama Malikiyah syirkah adalah :
Keizinan untuk berbuat hukum bagi kedua belah pihak, yakni masing-masing mengizinkan pihak lainnya berbuat hukum terhadap harta milik bersama antara kedua belah pihak, disertai dengan tetapnya hak berbuat hukum (terhadap harta tersebut) bagi masing-masing.
Menurut Hanabilah :
Berkumpul dalam berhak dan berbuat hukum.
Sedangkan menurut Syafi‟iyah ::
Tetapnya hak tentang sesuatu terhadap dua pihak atau lebih secara merata.
Menurut Latifa M.Algoud dan Mervyn K. Lewis
Musyarakah adalah kemitraan dalam suatu usaha, dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka, untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak dan tanggung jawab yang sama. Sedangkan menurut Sofiniyah Ghufron dkk., al-musyarakah atau syirkah adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif, di mana keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Meskipun rumusan yang dikemukakan para ahli tersebut redaksional berbeda, namun dapat difahami intinya bahwa syirkah “adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau beberapa pihak, baik mengenai modal ataupun pekerjaan atau usaha untuk memperoleh keuntungan bersama”.
Dasar hukum musyarakah antara lain firman Allah pada Surat An-Nisak ayat 12 yang artinya: “Dan jika saudara-saudara itu lebih dua orang, maka mereka bersyarikat pada yang sepertiga itu”,.dan juga hadits Nabi SAW yang berbunyi: Artinya : “Saya yang ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lain, tetapi apabila salah satunya mengkhianati yang lain, maka aku keluar dari keduanya. HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim.
  1. Landasan Syariah
Akad syirkah ini mendapatkan landasan syariahnya dari al-Qur’an, hadis dan ijma’.
1) Dari al-Qur’an
” Maka mereka berserikat dalam sepertiga” Q.S. An-Nisa’ : 12. Ayat ini sebenarnya tidak memberikan landasan syariah bagi semua jenis syirkah, ia hanya memberikan landasan kepada syirkah jabariyyah ( yaitu perkongsian beberapa orang yang terjadi di luar kehendak mereka karena mereka sama-sama mewarisi harta pusaka).
” Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu benar-benar berbuat zalim kepada sebagian lainnya kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh”. Q.S. Shod: 24. Ayat ini mencela perilaku orang-orang yang berkongsi atau berserikat dalam berdagang dengan menzalimi sebagian dari mitra mereka. Kedua ayat al-Qur’an ini jelas menunjukkan bahwa syirkah pada hakekatnya diperbolehkan oleh risalah-risalah yang terdahulu dan telah dipraktekkan.
2) Dari Sunnah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman : Aku adalah mitra ketiga dari dua orang yang bermitra selama salah satu dari kedunya tidak mengkhianati yang lainnya. Jika salah satu dari keduanya telah mengkhianatinya, maka Aku keluar dari perkongsian itu”. H. R. Abu Dawud dan al-Hakim. Arti hadis ini adalah bahwa Allah SWT akan selalu bersama kedua orang yang berkongsi dalam kepengawasanNya, penjagaanNya dan bantuanNya. Allah akan memberikan bantuan dalam kemitraan ini dan menurunkan berkah dalam perniagaan mereka. Jika keduanya atau salah satu dari keduanya telah berkhianat, maka Allah meninggalkan mereka dengan tidak memberikan berkah dan pertolongan sehingga perniagaan itu merugi. Di samping itu masih banyak hadis yang lain yang menceritakan bahwa para sahabat telah mempraktekkan syirkah ini sementara Rasulullah SAW tidak pernah melarang mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Rasulullah telah memebrikan ketetapan kepada mereka.
3) Ijma’
Kaum Muslimin telah sepakat dari dulu bahwa syirkah diperbolehkan, hanya saja mereka berbeda pandangan dalam hukum jenis-jenis syirkah yang banyak variasinya itu.
  1. Macam-macam musyarakah
Secara garis besar musyarakah terbagi dua, yang pertama musyarakah tentang kepemilikan bersama, yaitu musyarakah yang terjaIi tanpa adanya akad antara kedua pihak. Ini ada yang atas perbuatan manusia, seperti secara bersama-sama menerima hibah atau wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama menerima hibah atau menerima wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama menjadi ahli waris.
Bentuk kedua adalah musyarakah yang lahir karena akad atau perjanjian antara pihak-pihak (syirkah al-“uqud). Ini ada beberapa macam:
a. Syirkah Inan
Syirkah Inan adalah Kerjasama antara 2 pihak atau lebih, setiap pihak menyumbangkan modal dan menjalankan usaha atau bisnis.
Contoh bagi syirkah inan: Ibrahim dan Omar bekerjasama menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan masing-masing mengeluarkan modal 1 juta rupiah. Kerja sama ini diperbolehkan berdasarkan As-Sunnah dan ijma’ sahabat. Disyaratkan bahwa modal yang dikongsi adalah berupa uang. Modal dalam bentuk harta benda separti kereta/gerobak harus diakadkan pada awal transaksi. Kerja sama ini dibangunkan oleh konsep perwakilan(wakalah) dan kepercayaan(amanah). Sebab masing-masing pihak memberi/berkongsi modal kepada rekan kerjanya berarti telah memberikan kepercayaan dan mewakilkan usaha atau bisnisnya untuk dikelola.
Keuntungan usaha berdasarkan kesepakatan semua pihak yang bekerjasama, manakala kerugian berdasarkan peratusan modal yang dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-Jami’ meriwayatkan dari Ali ra. yang mengatakan: “Kerugian bergantung kepada modal, sedangkan keuntungan bergantung kepada apa yang mereka sepakati”
b. Syirkah Abdan
Syirkah Abdan adalah kerjasama 2 orang atau lebih yang hanya melibatkan tenaga(badan) mereka tanpa kerjasama modal.
Sebagai contoh: Jalal adalah Ahli bangunan rumah dan Rafi adalah Ahli elektrik yang berkerjasama menyiapkan projek mebangun sebuah rumah. Kerjasama ini tidak harus mengeluarkan uang atau biaya. Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan mereka.
Syirkah abdan hukumnya mubah berdasarkan dalil As-sunnah. Ibnu mas’ud pernah berkata “Aku berkerjasama dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqqash mengenai harta rampasan perang badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun” (HR Abu Dawud dan Atsram). Hadist ini diketahui Rasulullah saw dan membenarkannya.
c. Syirkah Mudharabah
Syirkah Mudharabah adalah syirkah dua pihak atau lebih dengan ketentuan. satu pihak menjalankan kerja (amal) sedangkan pihak lain mengeluarkan modal (mal). (An-Nabhani, 1990: 152).
Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Iraq, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh. (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Sebagai contoh: Khairi sebagai pemodal memberikan modalnya sebanyak 500 ribu kepada Abu Abas yang bertindak sebagai pengelola modal dalam pasaraya ikan.
Ada 2 bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah.
Pertama, 2 pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan mengeluarkan modal sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan menjalankan kerja sahaja.
Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal tanpa konstribusi kerja.
Kedua-dua bentuk syirkah ini masih tergolong dalam syirkah mudharabah (An-Nabhani, 1990:152). Dalam syirkah mudharabah, hak melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola. Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian jika kerugian itu terjadi kerana melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
d. Syirkah Wujuh
Disebut Syirkah Wujuh kerana didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak (misalnya A dan B) yang sama-sama melakukan kerja (amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang mengeluarkan modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat.
Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya. (An-Nabhani, 1990:154) Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak. Misalnya A dan B tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990:154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur atau suka memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah) yang tinggi misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
e. Syirkah Mufawadhah
Syirkah Mufawadhah adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan, mudharabah dan wujuh).
Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah berdiri sendiri maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya; yaitu ditanggung oleh pemodal sesuai dengan nisbah modal (jika berupa syirkah inan) atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudharabah) atau ditanggung pengusaha usaha berdasarkan peratusan barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).
Contoh: A adalah pemodal, menyumbang modal kepada B dan C, dua jurutera awam yang sebelumnya sepakat bahwa masing-masing melakukan kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk menyumbang modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan yaitu B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan konstribusi kerja sahaja.
Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga wujud syirkah mudharabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan suntikan modal di samping melakukan kerja, berarti terwujud syirkah inan di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya berarti terwujud syirkah wujuh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada yang disebut syirkah mufawadhah.
  1. Rukun dan Syarat Syarikat Al-‘Uqud
Menurut Hanafiyah untuk terjadinya syarikah al-‘uqud, maka harus ada ijab dan qabul. Sedangkan menurut Jumhur, rukunnya ada tiga, yaitu: a. Dua orang yang berakal sehat, b. Objek yang diperjanjikan dan c. Lafaz akad yang sesuai dengan isi. Lebih lanjut Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad pada umumnya adalah al-‘aqidaini, mahallu al-‘aqd dan sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa Az-Zarqa menambah satu lagi, yakni maudhu’ al-‘uqd (tujuan akad).
Sedangkan syarat syarikat al-‘uqud pada umumnya adalah:
a. Harus mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan
b. Pembagian keuntungan yang jelas
c. Pembagian keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal atau kewajiban.
B. Mudharabah
1) Pengertian Mudharabah
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.” Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
Ulama Hijaz menamakan mudharabah, qiradh. Menurut Jumhur, mudharabah adalah bagian dari musyarakah.Dalam merumuskan pengertian mudharabah, Wahbah Az-Zuhaily mengemukakan:
Pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pengusaha untuk diperdagangkan dengan pembagian keuntungan yang disepakati dengan ketentuan bahwa kerugian ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengusaha tidak dibebani kerugian sedikitpun, kecuali kerugian berupa tenaga dan kesungguhannya.
Menurut Latifa M.Algaoud dan Mervyn K.Lewis, mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak, dimana satu pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Menurut Afzalur Rahman sebagaimana dikutip oleh Gemala Dewi dkk., syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu berupa kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak pertama/supplier/ pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka ketentuannya berdasarkan syara‟ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan kepada harta, tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al Muzammil ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT “.Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribun yang asal katanya sama dengan mudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.

Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted Investment Account).
a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha, maupun yang lain.
b. Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.
2. Syarat dan Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
a. Syarat Akad Pembiayaan Mudharabah
Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Bahwa modal itu harus berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk barang perhiasan, emas, perak, atau barang dagangan, maka tidak sah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Munzir, “ Semua orang yang ilmunya kami jaga /hafal sepakat, bahwa seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi orang lain untuk suatu mudharabah. Namun jika modal itu berupa barang yang akan diperdagangkan harus dihitung ke dalam nilai uang.
2. Bahwa ia diketahui dengan jelas. Maksudnya agar dapat dibedakan modal yang diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan pada waktu akad.
3. Keuntungan yang menjadi hak pengelola usaha dengan investor harus jelas nisbahnya (prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabah dengan penduduk Khaibar, dengan mengambil separo dari keuntungannya. Motif dari perlunya nisbah ini ialah untuk menghindari kerugian tertentu dari pihak yang bermudharabah, jika yang ditetapkan besaran nilai uang, bukan prosentase, karena bisa jadi keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
4. Menurut Maliki dan Syafii, mudharabah itu bersifat mutlak. Artinya pemilik modal/investor tidak membatasi kepada pengelola usaha, untuk menggunakannya dalam usaha apa dan dimana, kapan, dan dengan siapa harus bermuamallah. Namun Hanafi dan Hambali membolehkan mudharabah baik dengan mutlak maupun muqoyyad. Baik dengan persyaratan tertentu atau bebas.

b. Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah :
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2. Obyek mudharabah (modal dan kerja)
3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab- qobul)
4. Nisbah keuntungan
Keterangan:
Ad.3.1. Pelaku
Dalam akad mudharabah minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak selaku pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidak ada.
Ad.3.2. Obyek
Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.

Ad. 3.3. Persetujuan
Faktor ketiga yaitu persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip at-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana sedangkan pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.
Ad. 3.4. Nisbah Bagi Hasil
Faktor yang keempat yaitu Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah. Faktor inilah yang membedakan akad mudharabah dengan akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-māl mendapat imbalan atas penyertaan modalnya.
C. Musyarakah dan Mudharabah Pada Bank Syari‟ah
Pada bank syari‟ah terdapat berbagai bentuk produk/usaha yang didasarkan kepada ketentuan-ketentuan syari‟ah, antara lain musyarakah dan mudharabah.
1. Bentuk-bentuk usaha musyarakah pada Bank Syari‟ah
Di antara bentuk usaha musyarakah pada bank syari‟ah, antara lain:
a. Pada Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari‟ah :
1) Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
2) Memberikan fasilitas letter of credit (L/C)
3) Penyertaan modal dengan perusahaan atau bank yang lain yang juga mendasarkan usahanya kepada prinsip-prinsip syari‟ah.
b. Pada BPR Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah :
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, ini dapat berupa :
a) Tabungan
b) Deposito berjangka.
2) Melakukan penyaluran dana melalui bagi hasil.
2. Bentuk-bentuk usaha mudharabah pada bank syari‟ah :
Ini dapat berupa :
a. Pada Bank Umum Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah:
1) Menghimpun dana dari masyarakat berupa simpanan dalam bentuk tabungan, deposito, atau bentuk lainnya yang berbentuk mudharabah.
2) Melakukan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan usaha.
3) Melakukan kegiatan usaha lain yang lazim bagi bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syari‟ah Nasional.
b. Pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Berdasarkan Prinsip Syari‟ah :
Bentuk-bentuk usaha mudharabah pada bank ini dapat berupa :
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan atau deposito atau bentuk lain yang menggunakan bentuk mudharabah.
2) Melakukan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan bagi hasil.
3) Melakukan kegiatan atau usaha lain yang lazim bagi BPR sepanjang disetujui oleh Dewan Syari‟ah Nasional.
Bentuk-bentuk musyarakah dan mudharabah ini tidak sama pada setiap bank syari‟ah, sebagai contoh, menurut Azwar, pada BNI Syari‟ah Cabang Medan, usaha-usaha mudharabah ada yang dalam bentuk penghimpunan dana, yaitu Tabungan Syariahplus, Deposito Mudharabah dan THI (Tabungan Haji Indonesia) mudharabah dan dalam bentuk penyaluran dana berupa pembiayaan usaha (seperti proyek agribisnis dan jasa), pembiayaan transaksional dan trnsaksi eksport; sedangkan musyarakah adalah dalam bentuk kemitraan pembiayaan proyek, joint ventura, ekspor/impor, modal kerja dan investasi.
Sedangkan pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Paduarta Insani Medan, dalam bentuk mudharabah antara lain Tabungan Mudharabah Insani dan Deposito Mudharbah Insani;sedangkan musyarakah antara lain dalam bentuk Pembiayaan Syari‟ah Insani. Pembiayaan ini dengan menggunakan lembaga jaminan, seperti gadai, fiducia dan kuasa jual.
II. Upaya Perbankan Syari‟ah Memelihara Prinsip-prinsip Syari‟ah
Meskipun suatu lembaga telah menyandang nama syari‟ah, namun tidak tertutup kemungkinan dalam menjalankan usahanya menyimpang dari nama yang disandang tersebut. Dalam menjalankan usahanya Bank Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah berupaya menjaga dan memelihara agar prinsip-prinsip syari‟ah tersebut tetap terpelihara dalam operasionalnya. Upaya-upaya yang dilakukan tersebut dapat dikemukakan antara lain :
A. Melalui struktur organisasi
Dalam struktur organisasi bank syari‟ah, ada lembaga yang bertugas dan bertanggungjawab memberikan pengawasan terhadap operasional bank syari‟ah, yakni Dewan Pengawas Syari‟ah. Lembaga ini biasanya ditempatkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Anggota Dewan Pengawas Syari‟ah ditetapkan oleh Rapat Pemegang Saham dari calon yang telah mendapat rekomendasi dari Dewan Syari‟ah Nasional.
Dewan Pengawas Syari‟ah bertugas meneliti produk-produk baru bank syari‟ah dan memberikan rekomendasi terhadap produk-produk baru tersebut serta membuat pernyataan bahwa bank yang diawasinya masih tetap menjalankan usaha berdasarkan prinsip-prinsip syari‟ah.
Selain Dewan Pengawas Syari‟ah, pada tingkat nasional ada pula Dewan Syari‟ah Nasional (DSN).Lembaga ini didirikan pada tahun 1997, merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia yang ketua dan sekretaris umumnya secara ex oficio dijabat oleh Ketua dan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia. Tugas lembaga ini antara lain adalah :
1. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syari‟ah, seperti bank syari‟ah, asuransi syari‟ah, reksadana syari‟ah, modal ventura dan lain-lain.
2. Meneliti dan memberi fatwa terhadap produk-produk yang akan dikembangkan pada bank-bank syari‟ah yang diajukan oleh manajemen bank yang bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Pengawas Syari‟ah.
3. Mengeluarkan pedoman yang akan digunakan oleh Dewan Pengawas Syari‟ah dalam mengawasi bank-bank syari‟ah.
4. Merekomendir para ulama yang akan ditugaskan menjadi anggota Dewan Pengawas Syari‟ah.
Dalam melaksanakan fungsinya DSN dapat memberikan teguran kepada lembaga keuangan syari‟ah yang bersangkutan apabila lembaga tersebut menyimpang dari garis panduan yang ditetapkan. Hal ini terjadi antara lain apabila Dewan Syari‟ah Nasional menerima laporan dari Dewan Pengawas Syari‟ah tentang penyimpangn tersebut.
B. Melalui Bisnis Usaha Yang Dibiayai
Upaya lainnya dari bank syari‟ah untuk menjaga agar usaha yang dijalankan tetap sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari‟ah adalah melalui bisnis usaha yang dibiayai. Sebelum menyetujui usul pembiayaan oleh bank syari‟ah, lebih dahulu diseleksi hal-hal yang berhubungan dengan usaha pembiayaan tersebut. Ini dilakukan agar jangan sampai usaha yang dibiayai bertentangan dengan prinsip-prinsip syari‟ah.
Hal-hal yang diperhatikan sebelum menyetujui usul pembiayaan tersebut antara lain adalah :
1. Apakah obyek pembiayaan halal atau haram.
2. Apakah obyek pembiayaan menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat.
3. Apakah berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila.
4. Apakah obyek berkaitan dengan perjudian.
5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata illegal atau berorientasi pada pembangunan senjata pemusnah massal.
6. Apakah proyek dapat merugikan syi‟ar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung.
C. Lingkungan Kerja dan Corporate culture
Sebuah bank syari‟ah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syari‟ah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan, sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping itu karyawan bank syari‟ah harus skillful dan professional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work, di mana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syari‟ah.
III. Sengketa Bank Syari‟ah
Menurut Sitimegadianty Adam dan Takdir Rahmadi sebagimana dikutip Rachmadi Usman, dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict” dan “dispute” yang kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan di antara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata conflict sudah diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata dispute dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa”. Sebuah konflik, yakni sebuah situasi dimana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan pada pebedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilaman pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.
Sengketa perbankan syari‟ah di sini maksudnya adalah perbedaan kepentingan di antara dua pihak atau lebih dalam perbankan syari‟ah yang mengakibatkan tejadinya kerugian bagi pihak atau pihak-pihak tertentu, dan perbedaan kepentingan atau kerugian tersebut dinyatakan kepada pihak yang dianggap menjadi penyebab kerugian atau kepada pihak lain, dan pihak lain tersebut memberikan pendapat yang berbeda.
Dihubungkan dengan produk-produk musyarakah dan mudharabah pada perbankan syari‟ah, maka sengketa mungkin saja terjadi dalam lingkup produk pengumpulan dana, seperti tentang jumlah atau angka-angka tabungan/deposito, atau bila nasabah merasa bahwa keuntungan yang diterimanya tidak wajar atau menyalahi kesepakatan; juga dimungkinkan apabila nasabah tidak dapat menarik dananya pada waktu yang ditentukan dan sebagainya, juga apabila nasabah merasa bahwa dananya telah digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip syari‟ah.
Sengketa mungkin juga terjadi pada produk-produk pembiayaan syari‟ah, seperti dalam hal terjadi kerugian dalam produk pembiayaan berbentuk mudharabah, lalu bank sebagai shahibul maal membebankan kerugian tersebut kepada pengusaha/dharib, sedangkan pengusaha merasa bahwa dirinya tidak bersalah. Juga mungkin apabila pengusaha tidak menjalankan usahanya dengan sungguh-sungguh atau tidak jujur sehingga timbul kerugian, atau apabila kejujuran dharib tidak diakui oleh bank dan sebagainya.
Pada produk musyarakah sengketa mungkin terjadi karena masing-masing pihak merasa mitranya tidak jujur, tidak profesional, tidak produktif, tidak efisien atau tidak maksimal menjalankan usaha bersama sehingga terjadi kerugian.
Apabila terjadi sengketa syari‟ah, maka berdasarkan penjelasan Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, lembaga yang berwenang mengadilinya adalah Pengadilan Agama. Meskipun demikian, ada kemungkinan sengketa perbankan syari‟ah tidak diajukan ke Pengadilan Agama. Ini terjadi apabila dalam perjanjian atau akad produk telah ditentukan lembaga-lembaga lain atau cara lain yang akan menyelesaikan sengketa. Ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang kebebasan berkontrak.
Menurut Suyud Margono, sebagaimana dikemukakan John Marlon M. dalam masyarakat terdapat berbagai model penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal yang dapat dijadikan acuan dalam menjawab sengketa yang mungkin timbul, yakni :
1. Proses konsensus (consensus processes), yakni ombudsman, pencari fakta secara netral (neutral fact finding), negosiasi (negotiation), mediasi (mediation) dan konsiliasi (consiliation).
2. Proses ajudikasi semu (quasi adjudicatory processes), yakni mediasi arbitrase (med-arb), persidangan mini (mini trial), pemeriksaan juri secara sumir (summary jury trial) dan evaluasi netral secara dini (early neutral evaluation).
3. Proses ajudikasi (adjudicative processes), yaitu litigasi (litigation) dan arbitrase (arbitration).
Khusus untuk perbankan syari‟ah dan lembaga-lembaga ekonomi syari‟ah pada umumnya lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan terutama adalah melalui Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional (BASYARNAS).
Dengan demikian litigasi atau penyelesaian sengketa melalui gugatan di pengadilan bukan satu-satunya lembaga atau cara yang dapat menyelesaikan sengketa, sebab tersedia beberapa alternatif untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan, yakni arbitrase dan Alternative Dispute Resolution (ADR).
Menurut Rachmadi Usman[35] istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) menunjukkan pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui prosedur yang disepakati para pihak (self-governing system) dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, atau arbitrase.
Sepanjang para pihak ada kesepakatan, mereka dapat menggunakan berbagai alternatif tersebut, tetapi apabila tidak ada kesepakatan, maka dengan sendirinya pihak atau pihak-pihak tersebut akan memilih berperkara ke pengadilan. Ini bukan berarti bahwa suatu sengketa selalu lebih dahulu diajukan kepada ADR sebelum ke pengadilan. Dalam kenyataan masyarakat luas lebih mengenal pengadilan dari pada ADR. Namun demikian banyak juga orang yang enggan mengajukan masalahnya ke pengadilan, antara lain dengan alasan berperkara menambah masalah.
Banyak kritik dikemukakan mengenai kelemahan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa perdata. Hal ini kiranya menjadi perhatian segenap aparat peradilan. Berbagai kelemahan tersebut antara lain:
1. Penyelesaian sengketa yang lambat
2. Biaya perkara yang mahal
3. Pengadilan tidak tanggap
4. Putusan pengadilan sering tidak menyelesaikan masalah
5. Kemampuan hakim yang bersifat generalis.
Sorotan terhadap pengadilan tersebut terutama dikemukakan oleh para pelaku bisnis.Dunia bisnis menghendaki sistem yang tidak formal dan pemecahan masalah menuju masa depan. Paradigma sistem seperti ini sulit diatur dalam sistem litigasi karena sistem litigasi bukan didesain untuk menyelesaikan masalah, melainkan lebih mengutamakan penyelesaian yang berlandaskan penegakan dan kepastian hukum. Demikian antara lain kritik yang dihadapkan kepada pengadilan.
Pandangan di atas tentu harus menjadi perhatian aparatur pengadilan, lebih-lebih Pengadilan Agama. Oleh sebab itu, sudah sepatutnyalah para hakim Pengadilan Agama berusaha maksimal agar perkara-perkara perbankan syari‟ah yang diajukan kepadanya dapat diperiksa, diputus dan diselesaikan dengan berlandaskan kebenaran, keadilan dan kemanfaatan serta dengan mengedepankan asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Dengan cara itu insya Allah para pencari keadilan akan merasakan bahwa putusan Pengadilan Agama tentang sengketa ekonomi syari‟ah benar-benar dapat menyelesaikan masalah, bukan seperti berbagai asumsi yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang kurang respons terhadap pengadilan, semoga.



2 komentar:

  1. ijin ambil refrensinya untuk dipelajari dan didiskusikan sebagai bentuk makalah,. Mr

    BalasHapus
  2. Sangat bermanfaat buat diskusi kelompok

    BalasHapus