BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju dan modern. Kegiatan berdagang pun juga berkembang kebentuk- bentuk yang lebih modern. Bentuk modern dari bentuk perdagangan yang saat ini banyak dijumpai salah satunya adalah pasar swalayan atau supermarket.[1]
Zaman yang maju menjadikan manusia selalu ingin mencari sesuatu yang lebih mudah dan praktis, sehingga tidak salah jika keberadaan pasar swalayan dapat diterima oleh masyarakat, dengan baik. Berbagai fasilitas yang ditawarkan oleh pasar swalayan membuat masyarakat lebih dimanjakan, sehingga banyak dari masyarakat yang lebih memilih berbelanja dipasar swalayan ketimbang dipasar tradisional.
Keberadaan pasar swalayan sebagai suatu bentuk yang lebih modern dan baru dari pasar tradisional, ternyata juga memberikan bentuk-bentuk baru terutama dalam bentuk transaksinya (akad). Dalam akadnya terutama saat mengembalikan uang sisa pembelian dipasar swalayan. Sering kali uang kembalian kita digenapkan atau terkadang diganti dengan permen. Hal yang baru ini terkadang masih menimbulkan tanda Tanya dikalannnngan masyarakat. Hal baru tersebut dianggap berbeda dari transaksi biasa yang dilakukan dipasar tradisional. [2]
B. Rumusan masalah
1. Bagaiman fenomena pembulatan harga pada transaksi jual beli di swalayan?
2. Bagaimana analisa fiqih terhadap penggantian uang sisa pembelian dengan permen di swalayan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut bahasa jual beli adalah menukar, membeli, menjual. Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan.[3] Hukum jual beli asalnya adalah boleh berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi). Kita dapat melihat bagaimanakah dalam Al Qur’an menyebutkan hal ini, yaitu firman Allah Ta’ala,:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)[4]
Rukun jual beli ada tiga:[5]
a. Adanya lafadz ijab dan qabul (akad).
b. Adanya pihak penjual dan pembeli.
c. Adanya barang yang diperjual belikan (ma’qud ‘alaih).
Syarat jual beli:
a. Orang yang melakukan akad: berakal, tamyiz, tidak terpaksa, keduaya tidak mubadzhir, baligh atau dewasa.
b. Barang yang diperjual belikan : bersih barangnya, dapat dimanfaatkan, milik orang yang melakukan akad, mampu menyerahkan, mengetahui.
c. Lafadz ijab dan qabul: adanya ijab qabul dalam transaksi jual beli merupakan salah satu bentuk indikasi yang meyakinkan tentang adanya rasa suka sama suka.
Bentuk jual beli
Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli jumhur ulama’ membagi jual beli menjadi dua bentuk, yaitu jual beli shahih dan jual beli yang tidak sah. Jual beli shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara’ baik rukun maupun syaratnya jual beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal.[6]
Macam jual beli
Dalam peraktek kehidupan sehari hari terdapat dua macam jual beli yaitu jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang dilarang oleh syari’at islam.[7]
a. Jual beli yang diperbolehkan oleh syariat islam
1. Berdasarkan pertukarannya dibagi menjadi empat:
a) Jual beli salam, jual beli melalui pesanan.
b) Jual beli muqayyadah (barter) adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang.
c) Jual beli mutlaq
Adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukarannya, seperti uang
d) Jual beli alat penukar dengan alat penukar, adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya.
2. Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi menjadi empat mcm:
a. Jual beli yang menguntungkan (al-murabahah)
b. Jual beli yang tidak menguntungkan yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tayliyah)
c. Jual beli rugi (al-khasarah)
d. Jual beli al musawwah yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang berakad saling meridhai.
b. Jual beli yang dilarang islam
Jual beli yang dilarang menurut pandangan ulama’ fiqih diantara jual beli yang dilarang adalah sebagai berikut:[8]
a) Bai’ al-Ma’dum, merupakan jual beli atas obyek transaksi yang tidak ada ketika kontrak jual beli dilakukan.
b) Bai’ al-Mu’athah, merupakan jual beli melalui perbuatan secra lazimnya tanpa melibatkan lafadz ijab dan qabul dalam urusan pembelian kecil-kecilan.
c) Bai’ ma’juz al Taslim, merupakan aqkad jual beli dimana obyek transaksi tidak bisa diserahterimakan.
d) Bai’ al Gharar, jual beli barang yang mengandung suatu unsure resiko dan akan menjadi beban salah satu pihak dan mendatangkan kerugian financial.
B. Ijab Qobul Dalam Jual Beli
Sebagian ulama yaitu Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali menyatakan bahwa ada dua bentuk akad jual beli, yaitu perkataan dan perbuatan. Bentuk perkataan semisal dengan ucapan penjual “saya jual barang ini padamu”, dan pembeli menerima dengan ucapan “saya beli barang ini darimu atau saya terima”. Sedangkan bentuk perbuatan dikenal dengan istilah “mu’athoh”.[9] Aqad bi al- mu’athah adalah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab dan Kabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai pembayaran.[10]
Bentuknya adalah seperti pembeli cukup meletakkan uang dan penjual menyerahkan barangnya. Transaksi mu’athoh ini biasa kita temukan dalam transaksi di pasar, supermarket, dan mall-mall. Transaksi mu’athoh bisa dalam tiga bentuk:
1. Si penjual mengatakan “saya jual”, dan si pembeli cukup mengambil barang dan menyerahkan uang.
2. Si pembeli mengatakan “saya beli”, dan si penjual menyerahkan barang dan menerima uang.
3. Si penjual dan pembeli tidak mengatakan ucapan apa-apa, si pembeli cukup menyerahkan uang dan si penjual menyerahkan barang. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2: 8)
Ulama Syafi’iyah melarang bentuk perbuatan dalam ijab qobul. Mereka beralasan bahwa perbuatan tidak menunjukkan adanya ‘iwadh atau timbal balik. Sehingga jual beli mu’athoh semacam ini menurut ulama Syafi’iyah tidaklah sah (Lihat Al Majmu’, 9: 170).[11]Pendapat terkuat dalam hal ini adalah ijab qobul boleh dan sah dengan perbuatan dengan alasan:
Pertama, Allah membolehkan jual beli dan tidak membatasinya dengan bentuk akad tertentu. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).
Kedua, sesuai ‘urf (kebiasaan) dengan si pembeli menerima barang dan penjual mengambil uang, maka itu sudah menunjukkan ridho keduanya. Jika dengan perkataan dianggap ridho, maka dengan perbuatan bisa teranggap pula. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling ridho) di antara kalian” (QS. An Nisa’: 29). (Lihat An Niyat, 2: 59-60)
Sehingga dari sini mengenai jual beli yang berlaku di pasar, supermarket, dan mall tanpa adanya ucapan apa-apa, cukup saling ridho dengan si penjual menyerahkan barang dan si pembeli menyerahkan uang, maka itu sudah dianggap sah. Bentuk transaksi mu’athoh di zaman modern:
1. Jual beli melalui mesin yang sudah berisi minuman penyegar, aqua, atau minuman bersoda dengan cukup memasukan sejumlah uang pecahan ke dalam mesin.
2. Transaksi melalui mesin ATM, seperti pembayaran listrik dan air.
3. Pemesanan dan pembelian tiket melalui internet.
4. Jual beli saham melalui internet. (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 782)
C. Fenomena Pembulatan Harga Pada Transaksi Jual Beli Di Swalayan
Masyarakat saat ini memang lebih banyak memilih untuk berbelanja dipasar swalayan yang kini telah banyak dijumpai diberbagai tempat. Mereka merasa lebih nyaman dan lebih praktis bila berbelanja dipasar swalayan, tidak perlu susah-susah menawar dan tidak harus merasakan pengapnya udara pasr tetapi, dengan memilih untuk berbelanja dipasar swalayan berarti masyarakat harus sedikit membayar lebih mahal dari harga dipasar tradisional.
Saat ini penyediaan uang receh memang menjadi suatu masalah yang klasik bagi para pedagang. Hal ini memaksa pedagang ritel khususnya pengelola pasar swalayan melakukan praktek pengenapan uang sisa pembelian. Dan praktek pengenapan seperti ini telah banyak dijumpai diberbagai pasar swalayan.
Dalam pengenapan uang sisa, swalayan hanya mengenapkan uang sisa pembelian yang mempunyai nominal Rp. 50,- misalnya bisa menunjukkan Rp. 1.950,- maka kasir akan meminta pembeli untuk membayar Rp. 2.000,- terkadang bila belanjaan pembeli Rp. 1.550,- maka kasir hanya akan meminta Rp. 1500,- saja. Dan apabila memang masih ada persediaan uang receh maka pembeli tetap akan menerima uang kembalian sesuai yang tertera dalam struk belanja tanpa ada pengenapan.
D. Analisa Fiqih Terhadap Penggantian Uang Sisa Pembelian Dengan Permen Di Swalayan
Semakin langka dan sulitnya mendapatkan uang pecahan kecil atau uang receh telah menimbulkan berbagai dampak bagi kegiatan perdagangan. Yang membuat pedagang mencari cara agar mereka bisa mengembalikan uang sisa pembelian milik konsumennya. Salah satu cara yang telah banyak dilakukan para pedagang saat ini adalah menggfanti uang sisa pembelian dengan memberikan permen.
Bila dicermati lagi pengenapan uang sisa pengembalian dan pengantian uang sisa pengembalian dengan permen terdapat jual beli baru atau akad jual beli tambahan. Dengan menerima uang sisa pengembalian dalam bentuk permen berarti secara tidak langsung kita telah membeli permen tersebut. Hukum kedua akad tersebut adalah diperbolehkan dalam fiqih, kedua akad tersebut termasuk akad jual beli mu’athah yang telah diperbolehkan oleh jumhur ulama’.
Dalam hal ini terdapat Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya diantaranya yaitu: Akad jual beli yang terjadi di swalayan biasa disebut dengan bay’ al-mu’atah, merupakan transaksi jual beli yang tidak disertai dengan ijab dan qabul serta dalam transaksinya tidak dijumpai adanya proses tawar menawar.[12]
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa jual beli mu’atah hukumnya adalah sah bila hal tersebut telah menjadi kebiasaan masyarakat dan hal tersebut tidak merugikan pihak lain. Kemampuan dan potensi yang dimiliki manusia dalam memikul hukum itu berbeda-beda, sehingga perlu diadakan jalan untuk menghindarai kesukaran dengan mengadakan pengecualian hukum. Hal ini memunculkan hukum satu kaidah yang berbunyi “ al masaqqatu tajlibu at-taisiir (adanya kesulitanakan memunculkan adanya kemudahan)“ masaqqah itu kemudian menimbulkan hukum rukhsah yang merepakan keringanan yang diberikan bagi mukallaf dalam keadaan-keadaan tertentu. Firman Allah al-Baqarah ayat 185
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( `tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
“(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Dilihat dari kaidah fikih maka boleh karena kondisi kelangkaan uang receh yang kemudian tidak mencukupi kebutuhan.sebagaimana telah disebutkan, bahwa praktek pengenapan bisa terjadi dimana-mana dan sebagian masyarakat juga telah menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan dapat dimaklumi. Tetapi dilain pihak, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sebagian orang yang merasa kurang puas dengan adanya pengenapan ini. Ketidak puasan atau ketidak relaan pada salah satu pihak tersebut dapat menandakan tidak adanya unsure ‘an taradhin pada salah satu pihak yang berakad.[13] Sabda rasulullah SAW:[14]
“Dari ibn mas’ud ia berkata:” saya mendengar rasulullah saw bersabda:” apabila dua orang yang berjual beli sedang diantara mereka tidak ada keterangan, maka yang teranggap ialah perkataan yang mempunyai barang atu kedua-duanya mundur.”
Dari hadits dapat diketahui bahwa bila ada perselisihan diantara dua orang yang berjual beli atau dengan kata lain tidak ada ’antaradhin diantara mereka, maka dapat memilih mengikuti apa yang dikatakan penjual atau membatalkan jual beli tersebut maka bila dalam pengenapan uang sisa pembelian ini ada pembeli yang merasa kurang rela jika sebagian uang sisa pembeliannya digenapkan, ia memilih untuk tetap mengikuti apa yang dikatakan penjual, ini berarti ia harus rela uang sisa pembeliannya digenapkan, atau membatalkan jual belinya tersebut.
[2] Ibid.,
[3] Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) 69
[5] Hendi suhendi,. 71-74
[6] Rahmat Shafi’i , Fikih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001),91-92
[7] Ibid,. 101-102
[8] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Mu’amalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).,82-85
[10] Ibid Hendri., 74
[11] Ibid rumayso.,
[12] Skripsi, riska triana, analisa fiqih terhadap praktek pengembalian uang sisa pembelian (ponorogo: 2008)
[13] Ibid skripsi.,
[14] Abi dawud sulaiman, sunan abi dawud juz 3 (Beirut: dar al fikr,1995) ,. 269
Tidak ada komentar:
Posting Komentar