Wacana
Tentang BMT
- Pengertian BMT
BMT
singkatan dari Baitul māl wattamwil. BMT terdiri dari dua istilah yaitu baitul
māl dan baitul tamwil. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
berarti rumah uang dan rumah pembiayaan. Baitul māl lebih mengarah pada
usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat,
infaq, dan shodaqoh serta menjalankan sesuai dengan peraturan dan
amanahnya. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran
dana komersial.
- Produk dan Jasa BMT
Pendirian
BMT didesain untuk bermitra dengan usaha-usaha mikro yang tidak bisa dijamah
oleh perbankan, baik konvensional maupun syariah. Selama ini perbankan masih
kesulitan untuk mengalirkan dananya ke usaha mikro, hal ini karena jenis usaha
ini dinilai kurang ekonomis untuk mendapatkan pembiayaan dari bank. Belum lagi
karena berbagai kendala seperti masalah agunan, serta kondisi administrasi
keuangan yang dinilai kurang memenuhi syarat.
Kegiatan
utama BMT adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota
dengan imbalan bagi hasil atau mark up/margin sesuai syariah.
Dasar-dasar
pengelolaan BMT dengan sistim syari’ah tidak menggunakan bunga sebab bunga
adalah riba. Komitmen ini berdasarkan pada pengertian mengenai Q.S. 2 :278-279,
2 : 275-276, 3:130, 4:29, dan 30:39. Apalagi setelah MUI, dalam Rakernas di
Jakarta Desember 2004, menyatakan fatwanya bahwa bunga bank haram hukumnya
sebab bunga bank adalah riba. Seiring dengan gagasan Islamisasi perbankan, maka
BMT pun mempedomani prinsip bagi hasil sebagai pengganti sistim bunga.
Selama ini
demi menjaga konsistensi lembaga keuangan yang mengatasnamakan Islam di
Indonesia terutama pada level BMT, saat ini lingkup lembaga keuangan Islam
sangat mendesak untuk mengembangkan pertukaran pandangan mengenai kemampuan
produk-produk keuangan mereka sebagai satu kesatuan dalam kerangka pengganti
sistim bunga, yang seharusnya lebih mampu membentuk keadilan ekonomi. Upaya itu
adalah kebutuhan dalam kerangka menghilangkan kelemahan lembaga keuangan Islam
karena tidak nyangkutnya teori dengan praktik atau antara ilmu dengan
kenyataan.
Dalam
pembiayaan, fungsi dan layanan BMT tidak berbeda dengan bank syari’ah. BMT juga
menjadi penyandang dana bagi pengusaha yang datang kepadanya untuk mengajukan
permohonan dana. Besar kecil dana dalam permohonan pengusaha itu pada akhirnya
mendapatkan ketetapannya dari pihak BMT.
Jenis-jenis
layanan melalui produk BMT pun tidak berbeda dari jenis layanan bank syari’ah,
yang dapat dibagi menjadi 3 :
a. Sistim jual
beli
1) Murobahah
Penjualan
barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin) yang diketahui dan
disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara jatuh tempo/sekaligus.
b. Sistim Bagi
Hasil
1) Musyarokah
Kerjasama
penyertaan modal dan masing-masing menentukan jumlahnya sesuai kesepakatan
bersama yang digunakan untuk mengelola suatu usaha/proyek tertentu.
Pada
prinsipnya dalam pembiayaan musyarokah tidak ada jaminan, namun untuk
menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta
jaminan. Kerugian harus dibagi antara para anggota secara proporsional menurut
saham masing-masing dalam modal.
Partisipasi
para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarokah akan tetapi
kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh
melaksanakan kerja lebih banyak dari lainnya dalam hal ini ia boleh menuntut
bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Hal ini dapat dijadikan dasar dalam
penentuan nisbah dimana anggota BMT sebagai pengelola usaha mendapatkan porsi
yang lebih tinggi.
2) Mudharabah
Pemberian
modal kepada anggota yang mempunyai skill untuk mengelola usaha/proyek yang
dimilikinya. Pembagian bagi hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan.
Modal 100 % dari shohibul maal, tidak terdapat jadwal angsuran, bagi hasil
tidak ditetapkan dimuka dan sifatnya tidak tetap, tergantung fluktuasi
keuntungan yang diperoleh.
BMT sebagai
penyandang dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika
mudharib /anggota melakukan kesalahan yang disengaja, lalai/menyalahi
perjanjian. Dalam akad ini biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
c. Sistim Jasa
1) Rahn
Pinjaman
dengan cara menggadaikan barang sebagai jaminan utang dengan membayar jatuh
tempo. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhum) ditanggung oleh
penggadai (rahin). Barang jaminan adalah milik sendiri (rahin),
untuk itu hendaknya rahin bersedia mengisi surat pernyataan kepemilikan.
Sejalan
dengan sejarah kemunculan Bank Islam, disini diperlukan suatu penegasan
terhadap kedudukan produk-produk tersebut sebagai pengganti bunga bank.
Prinsip bagi
hasil didalam BMT menjadi gagasan yang mengemuka dalam upaya mencari pengganti
bunga, dan penerapannya dilaksanakan dalam pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
BUNGA
|
BAGI HASIL
|
a.Penentuan
bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
|
a.Penentuan
besarnya rasio /nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman
pada kemungkinan ganti rugi
|
b.Besarnya
prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
|
b.Besarnya
rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
|
c.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah
proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
|
c.Bagi
hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi,
kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
|
d.Jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau
keadaan ekonomi sedang “booming”.
|
d. Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
|
e.Eksistensi
bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
|
e.Tidak
ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
|
f.Jika
terjadi kerugian ditanggung nasabah saja.
|
f. Jika
terjadi kerugian ditanggung kedua belah pihak, nasabah dan lembaga.
|
Didalam
pembahasan selanjutnya hanya akan dibatasi pembahasan mengenai pembiayaan mudharabah.
B. Wacana Bank
Syari’ah
Salah satu
perkembangan baru dalam dunia ekonomi di Indonesia adalah tumbuh dan
berkembangnya lembaga-lembaga ekonomi Islam. Satu di antaranya adalah perbankan
Islam atau perbankan syari‟ah. Berdasarkan huruf a Penjelasan Pasal 49 huruf i
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU No. 3 Tahun 2006), perkara bank syari‟ah
termasuk kewenangan Pengadilan Agama.
“Secara
akademik, istilah Islam dengan syari‟ah mempunyai pengertian yang berbeda.
Namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan bank syari‟ah mempunyai
pengertian yang sama”. ” Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran
uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari‟at Islam”.
Dari rumusan
tersebut dipahami bahwa usaha pokok bank syari‟ah adalah mengadakan
transaksi-transaksi dan produk-produk bank yang Islami, yakni yang terhindar
dari riba, terhindar dari transaksi-transaksi bathil, juga terhindar dari
prinsip-prinsip kezhaliman. Oleh karena itu, yang dimaksud bukan sekedar
meng-arabkan istilah-istilah perbankan, tetapi lebih dari itu harus sejalan
dengan prinsip-prinsip syari‟ah dimaksud.
Di antara
bentuk-bentuk transaksi usaha dalam Islam adalah musyarakah dan mudharabah.
Kedua bentuk transaksi ini lazim dipraktekkan dalam bank syari‟ah. Oleh sebab
itu perlu dilihat bagaimana produk-produk tersebut berlaku dalam bank syari‟ah,
yakni untuk memudahkan analisa apabila tertjadi sengketa para pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar