Rabu, 20 Juni 2012

wacana tentang BMT


Wacana Tentang BMT
  1. Pengertian BMT
BMT singkatan dari Baitul māl wattamwil. BMT terdiri dari dua istilah yaitu baitul māl dan baitul tamwil. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti rumah uang dan rumah pembiayaan. Baitul māl lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infaq, dan shodaqoh serta menjalankan sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial.
  1. Produk dan Jasa BMT
Pendirian BMT didesain untuk bermitra dengan usaha-usaha mikro yang tidak bisa dijamah oleh perbankan, baik konvensional maupun syariah. Selama ini perbankan masih kesulitan untuk mengalirkan dananya ke usaha mikro, hal ini karena jenis usaha ini dinilai kurang ekonomis untuk mendapatkan pembiayaan dari bank. Belum lagi karena berbagai kendala seperti masalah agunan, serta kondisi administrasi keuangan yang dinilai kurang memenuhi syarat.
Kegiatan utama BMT adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark up/margin sesuai syariah.
Dasar-dasar pengelolaan BMT dengan sistim syari’ah tidak menggunakan bunga sebab bunga adalah riba. Komitmen ini berdasarkan pada pengertian mengenai Q.S. 2 :278-279, 2 : 275-276, 3:130, 4:29, dan 30:39. Apalagi setelah MUI, dalam Rakernas di Jakarta Desember 2004, menyatakan fatwanya bahwa bunga bank haram hukumnya sebab bunga bank adalah riba. Seiring dengan gagasan Islamisasi perbankan, maka BMT pun mempedomani prinsip bagi hasil sebagai pengganti sistim bunga.
Selama ini demi menjaga konsistensi lembaga keuangan yang mengatasnamakan Islam di Indonesia terutama pada level BMT, saat ini lingkup lembaga keuangan Islam sangat mendesak untuk mengembangkan pertukaran pandangan mengenai kemampuan produk-produk keuangan mereka sebagai satu kesatuan dalam kerangka pengganti sistim bunga, yang seharusnya lebih mampu membentuk keadilan ekonomi. Upaya itu adalah kebutuhan dalam kerangka menghilangkan kelemahan lembaga keuangan Islam karena tidak nyangkutnya teori dengan praktik atau antara ilmu dengan kenyataan.
Dalam pembiayaan, fungsi dan layanan BMT tidak berbeda dengan bank syari’ah. BMT juga menjadi penyandang dana bagi pengusaha yang datang kepadanya untuk mengajukan permohonan dana. Besar kecil dana dalam permohonan pengusaha itu pada akhirnya mendapatkan ketetapannya dari pihak BMT.
Jenis-jenis layanan melalui produk BMT pun tidak berbeda dari jenis layanan bank syari’ah, yang dapat dibagi menjadi 3 :
a. Sistim jual beli
1) Murobahah
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara jatuh tempo/sekaligus.
b. Sistim Bagi Hasil
1) Musyarokah
Kerjasama penyertaan modal dan masing-masing menentukan jumlahnya sesuai kesepakatan bersama yang digunakan untuk mengelola suatu usaha/proyek tertentu.
Pada prinsipnya dalam pembiayaan musyarokah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta jaminan. Kerugian harus dibagi antara para anggota secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarokah akan tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari lainnya dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Hal ini dapat dijadikan dasar dalam penentuan nisbah dimana anggota BMT sebagai pengelola usaha mendapatkan porsi yang lebih tinggi.
2) Mudharabah
Pemberian modal kepada anggota yang mempunyai skill untuk mengelola usaha/proyek yang dimilikinya. Pembagian bagi hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan. Modal 100 % dari shohibul maal, tidak terdapat jadwal angsuran, bagi hasil tidak ditetapkan dimuka dan sifatnya tidak tetap, tergantung fluktuasi keuntungan yang diperoleh.
BMT sebagai penyandang dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib /anggota melakukan kesalahan yang disengaja, lalai/menyalahi perjanjian. Dalam akad ini biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
c. Sistim Jasa
1) Rahn
Pinjaman dengan cara menggadaikan barang sebagai jaminan utang dengan membayar jatuh tempo. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhum) ditanggung oleh penggadai (rahin). Barang jaminan adalah milik sendiri (rahin), untuk itu hendaknya rahin bersedia mengisi surat pernyataan kepemilikan.
Sejalan dengan sejarah kemunculan Bank Islam, disini diperlukan suatu penegasan terhadap kedudukan produk-produk tersebut sebagai pengganti bunga bank.

Prinsip bagi hasil didalam BMT menjadi gagasan yang mengemuka dalam upaya mencari pengganti bunga, dan penerapannya dilaksanakan dalam pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
BUNGA
BAGI HASIL
a.Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
a.Penentuan besarnya rasio /nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan ganti rugi
b.Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
b.Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
c.Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d.Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.
d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
e.Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
e.Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
f.Jika terjadi kerugian ditanggung nasabah saja.
f. Jika terjadi kerugian ditanggung kedua belah pihak, nasabah dan lembaga.
Didalam pembahasan selanjutnya hanya akan dibatasi pembahasan mengenai pembiayaan mudharabah.
B. Wacana Bank Syari’ah
Salah satu perkembangan baru dalam dunia ekonomi di Indonesia adalah tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga ekonomi Islam. Satu di antaranya adalah perbankan Islam atau perbankan syari‟ah. Berdasarkan huruf a Penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU No. 3 Tahun 2006), perkara bank syari‟ah termasuk kewenangan Pengadilan Agama.
“Secara akademik, istilah Islam dengan syari‟ah mempunyai pengertian yang berbeda. Namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan bank syari‟ah mempunyai pengertian yang sama”. ” Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari‟at Islam”.
Dari rumusan tersebut dipahami bahwa usaha pokok bank syari‟ah adalah mengadakan transaksi-transaksi dan produk-produk bank yang Islami, yakni yang terhindar dari riba, terhindar dari transaksi-transaksi bathil, juga terhindar dari prinsip-prinsip kezhaliman. Oleh karena itu, yang dimaksud bukan sekedar meng-arabkan istilah-istilah perbankan, tetapi lebih dari itu harus sejalan dengan prinsip-prinsip syari‟ah dimaksud.
Di antara bentuk-bentuk transaksi usaha dalam Islam adalah musyarakah dan mudharabah. Kedua bentuk transaksi ini lazim dipraktekkan dalam bank syari‟ah. Oleh sebab itu perlu dilihat bagaimana produk-produk tersebut berlaku dalam bank syari‟ah, yakni untuk memudahkan analisa apabila tertjadi sengketa para pihak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar