WASIAT
Makalah Ini disusun Untuk
Memenuhi salah satu Tugas
Pada Mata Kuliah “Fiqih Mawaris”
Di susun oleh:
Fatimatuz Zahro 210209011
Afiyudha Riris 210209017
Dosen Pengampu:
H. Suchamdi, M. Si.
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDY MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu
bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari
hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum
yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan
terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, di antaranya ialah masalah
bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang
yang meningal dunia tersebut.[1]penyelesaian
hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur
oleh hokum waris.
Wasiat juga di sebut testamen adalah
“pernyataan kehendak seseorang mengenai apa yang akan kelak di lakukan terhadap
hartanya setelah ia meninggal dunia kelak”.[2]
Pelaksanaan wasiat ini baru akan dilakukan setelah pewaris meninggal dunia.
Dalam peraktek pelaksanaanya wasiat harus memenuhi beberapa persyaratan
tertentu agar pelaksanaanya tidak bertentangan dengan ketentuan hukum waris dan
tidak merugikan para ahli waris lain yang tidak memperoleh pemberian melalui
wasiat. Dalam kaitan ini pula hukum membatasi kekuasaan seseorang untuk
menentukan kehendak terakhirnya melalui wasiat agar ia tidak mengesampingkan
anak sebagai ahli waris melalui wasiat.
Istilah wasiat diambil dari bahasa
arab, sehingga dalam waris hukum islam kedudukan wasiat sangat penting sebab
Al- Qur’an menyebut perihal wasiat ini berulang kali. Di samping dalam hukum
waris islam, wasiat di kenal juga dalam hukum perdata menurut BW dan dalam
hukum waris adat.[3]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian wasiat?
2.
Sebut dan jelaskan Syarat-
syarat wasiat?
3.
Siapa Yang tidak boleh menerima
wasiat?
4.
Bagaimana Batalnya wasiat?
5.
Bagaimana cara Pencabutannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wasiat
Secara
bahasa wasiat artinya “berpesan”. Sedangkan menurut istilah wasiat adalah sesuatu tasharruf terhadap harta
peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat.[4] Jelasnya pengelolaan
terhadap yang jadi obyek wasiat berlaku setelah yang berwasiat itu meninggal.
Menurut
asal hukum wasiat itu adalah suatu perbuatan yang di lakukan dengan sukarela
dalam segala keadaan. Karena, tak ada dalam syari’at islam sesuatu wasiat yang
wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim. Sementara ada pendapat yang mengatakan
, apabila suatu wasiat datang dari Allah, berarti suatu perintah sebagai suatu
kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan.
Dalam
pengertian istilah, Sayid sabiq mengatakan:
هِبَةُ الانسان
غيره عينااودينااومنفعةعلى ان بملك الموصى له الهبة بعدموت الموصى[5]
“ pemberian seseorang kepada orang
lain, berupa benda, utang atau manfaat, agar si penerima memiliki pemberian itu
setelah si pewasiat meninggal”.
Satu pendapat menggatakan bahwa wasiat
adalah pemilikan yang di sandarkan pada sesudah meninggalnya si pewasiat dengan
jalan tabarru’ (kebaikan tanpa menuntut imbalan). Pengertian ini untuk
membedakan antara wasiat dan hibah. Jika hibah berlaku sejak si pemberi
menyerahkan pemberiannya dan di terima oleh yang menerimanya, maka wasiat
berlaku setelah pemberi meninggal. Ini sejalan atau sependapat dengan definisi
fuqaha’ Hanafiyah: wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada
orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara
sukarela (tabarru’) yang pelaksanaanya di tangguhkan setelah peristiwa kematian
orang yang memberikan wasiat. Fuqaha’ Malikiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah
memberi definisi yang lebih rinci yaitu: suatu transaksi yang mengharuskan si penerima
wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan si pemberi setelah meninggal
atau yang mengharuskan penggantian hak sepertiga harta si pewasiat kepada
penerima. Sedangkan dalam kompilasi hukum islam mendefinisikan wasiat sebagai
berikut: pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang
akan berlaku setelah si pewaris meninggal dunia. (psl 171 huruf f KHI)
Dasar hukum wasiat dalam islam, para
ulama’ mendasarkan wasiat kepada al- qur’an, as- sunnah dan ijma’.[6]dalam
konteks hukum islam di Indonesia kompilasi merupakan aturan yang di pedomani.
Dengan kata lain wasiat adalah pesan seseorang mengenai penggunaan atau
pemanfaatan harta peninggalannya, kelak setelah ia meninggal dunia, baik wasiat itu untuk
anggota kerabatnya ataupun bukan. Wasiat tersebut dilaksanakan atas kemauannya
sendiri, tanpa paksaan. Oleh sebab itu wasiat yang di lakukan dengan jalan
putusan hakim tidak di benarkan. Dalam surat Al- Baqarah 180 Allah berfirman:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
“Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kerabat –
kerabatnya secara makruf ini adalah kewajiban atas orang – orang yang
bertakwa”.
B.
Syarat- syarat wasiat.
Terdapat
4 syarat dalam melaksanakan wasiat:[7]
1. Orang yang Berwasiat
Para
ulama’ sepakat bahwa orang yang berwasiat adalah setiap orang yang memiliki
barang manfaat secara sah dan tidak ada paksaan. Namun mereka berbeda dalam
menentukan batas usia, karena ini erat kaitannya dengan kepemilikannya. Imam
Malik mengatakan wasiat orang safih (bodoh) dan anak- anak yang belum baligh hukumnya
sah. Pendapat ini didasarkan kepada riwayat umar ibn khattab yang membolehkan
wasiat anak yang baru berumur 9 atau 10 tahun kepada seorang putri pamannya senilai 30 dirham. Imam Hanafi
berpendapat bahwa wasiat anak yang belum baligh hukumnya tidak sah. Imam
Syafi’I mempunyai dua pendapat. Kaitannya dengan orang kafir, wasiat mereka sah
hukumnya, sepanjang barang yang di wasiatkan tidak diharamkan. Undang- undang
wasiat mesir mensyaratkan si pewasiat harus sudah baligh, berakal sehat dan cerdas.
KHI dalam hal ini mirip dengan pendapat Hanafi dan Syafi’I dalam
satu pendapatnya. Dinyatakan dalam pasal 194:
1)
Orang yang telah berumur
sekurang- kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat
mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2)
Harta benda yang di wasiatkan
harus merupakan hak dari pewasiat.
Pada
pasal 194 menegaskan bahwa batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah
orang yang benar- benar telah dewasa secara undang- undang. Berbeda dengan
batasan baligh dalam fikih.
2. Orang yang Menerima Wasiat
Para ulama’
sepakat bahwa orang- orang atau badan yang menerima wasiat adalah bukan ahli
waris, dan secara hukum dapat di pandang sebagai cakap untuk memiliki sesuatu
hak atau benda. Ini sejalan dengan KHI psl. 171 huruf f, psl 194 ayat (1).
Riwayat dari Abu Umamah berkata bahwaia mendengar Rasulullah SAW, bersabda:
انّ الله قداعطى لكلّ ذى حقّ
حّقه فلاوصيّة لوارث (رواه الترمذى)
“sesungguhnya Allah telah memberikan kepada orang yang mempunyai hak
akan hak- haknya, maka tidak sah wasiat kepada ahli waris”.
Hadis tersebut, oleh sebagian ulama’ di nilai bertentangan dengan
ayat yang men,jelaskan bahwa wasiat
adalah untuk kedua orang tua dan kerabat. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa
wasiat kepada kerabat yang bukan ahli waris boleh dilaksanakan tetapi makruh.
Fuqaha’ syiah ja’fariyah
menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris yang menerima warisan adalah boleh,
kendatipun ahli waris lainnya tidak menyetujuinya. Dasarnya petunjuk umum
(dalalah al-‘am) Qs. Al- baqarah: 180.
Pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan
syarat apabila ahli waris lain menyetujui adalah madzhab syafi’iyah, hanafiyah
dan malikiyah. Dasarnya:
لاوصيّة لوارث الاّ
ان يجيزالورثة (رواه الدرقطى)
“ tidak
sah wasiat kepada ahli waris, kecuali apabila ahli waris lain membolehkannya”.
Masalah ini juga terdapat pada KHI pasal
195 yang di dalamnya juga mengatur teknis pelaksanaan wasiat. Sayid Sabiq
mengemukakan syarat orang yang menerima wasiat ada tiga, pertama tidak ahli
waris si pewasiat, kedua si penerima wasiat hadir pada waktu wasiat
dilaksanakan, dan ketiga, si penerima tidak melakukan pembunuhan yang di
haramkan kepada si pewasiat. Kompilasi kemudian menegaskan bahwa dalam
berwasiat hendaknya orang yang menerima di tunjuk secara tegas. Pasal 196.
3. Benda yang Diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi obyek wasiat adalah benda- benda
atau manfaat yang dapat digunakan bagi kepentingan manusia secara positif. Para
ulama sepakat dalam masalah tersebut. Namun mereka berbeda dalam wasiat yang
berupa manfaat suatu benda, sementara bendanya itu sendiri tetap menjadi milik
pemiliknya atau keluarganya.
Sayid sabiq
menegaskan bahwa wasiat dengan segala benda atau manfaat, seperti buah dari
satu pohon, atau anak dari satu hewan adalah sah. Ini sejalan dengan pendapat
jumhur , menurut mereka, manfaat dapat di kategorikan sebagai benda, karena itu
wasiat berupa manfaat saja, hukumnya boleh. Kompilasi juga menyebutkan pada
pasal 198.
Wasiat
disini dapat dilaksanakan maksimal sepertiga dari seluruh harta si pewasiat.
Tidak boleh lebih, ini merupakan consensus ulama’. Kompilasi merumuskan dalam
pasal 201. Penegasan pasal 201 kompilasi
mengacu kepada pernyataan Rosululloh, bahwa sepertiga itu besar atau banyak.
Demikian pendapat ulama’ salaf. Qotadah mengatakan, Abu bakar berwasiat dengan
seperlima hartanya, Umar dengan seperempat hartanya. Ibnu rusyd memandang,
wasiat dengan seperlima harta adalah lebih baik.
Yang
popular adalah pendapat seperti dituangtkan dalam kompilasi yang menyatakan
maksimal wasiat adalah sepertiga. Dikuatkan lagi oleh sabda Nabi SAW.
انّ الله قدجعل لكم فى الو صّية ثلث
اموا لكم زيا دة فى اعمالكم
Sesungguhnya Alloh menjadikan
wasiat pada kamu sekalian sepertiga harta kalian sebagai tambahan amal kalian.
Meskipun
kompilasi tidak menegaskan masa perhitungan sepertiga wasiat, dapat ditegaskan
bahwa sepertiga tersebut dihitungdari semua peninggalan pada saat kematian si
pewasiat. Penegasan ini penting, sebab tidak jarang terjadi wasiat dilakukan
jauh-jauh hari sebelum meninggal, sehingga terjadi pengurangan atau penambahan
barang-barang yang menjadi miliknya saat pewasiat meninggal.
4. Redaksi ( Sighot ) wasiat
Ibnu
rusyd mengatakan bahwa wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi yang jelas
atau shorih dengan kata wasiat, dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran.
Wasiat bisa dilakukan dengan tertulis, dan tidak memerlukan jawaban penerimaan
secara langsung.
Para
ulama berbeeda pendapat tentang apakah penerimaan orang yang menerima wasiat
merupakan syarat syahnya atau tidak? Imam Malik mengatakan bahwa penerimaan
wasiat ( qobul ) merupakan syarat sah. Berbeda dengan Imam Syafi’I, menurutnt
Syafi’I qobul yang menerima wasiat tidak merupakan syarat sah. Abu Hanifah dah
kedua muridnya, Abu Yusuf dan Hasan Alsyaibani memandang bahwa qobul dalam
wasiat harus ada. Alasannya, karena wasiat adalah tindakan ikhtiariah dan
karena pernyataan menerima penting adanya. Seperti dimaksud pasal 195 ayat 1
wasiat perlu dibuktikan secara otentik.
C.
Yang Tidak Boleh
Menerima Wasiat
Ahli waris yang telah menerima bagian
warisan, ia tidak berhak menerima wasiat, karena telah menerima bagian warisan.
Meskipun demikian, jika ahli waris lainnya menyetujui dapat dilaksanakan.
Rincian tentang yang tidak boleh menerima wasiat dijelaskan dalam pasal 207:
“wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan
bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia
menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas
untuk membalas jasa”.
Pasal 208 menyebutkan: “wasiat tidak
berlaku bagi notaris dan saksi – saksi pembuat akte tersebut”.
Pengaturan tersebut dimaksudkan agar tidak
terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan wasiat mengingat orang-orang yang
disebut dalam pasal 207 sampai 208 diatas terlibat langsung dalam wasiat
tersebut.
Satu hal yang perlu ditambah disini adalah
bahwa yang tidak boleh menerima wasiat adalah orang atau badan telah
mempraktekkan dan menyalahgunakan tindakannya untuk kepentingan maksiat.
Sejalan dengan sabda nabi SAW : laa ta’at li makhluk fi ma’siat alkholiq.
(Tidak perlu dipatuhi oleh makhluk dalam maksiat kepada Tuhan).
D.
Batalnya wasiat
Kompilasi mengatur masalah ini cukup rinci, yaitu dalam pasal 197:
1)
Wasiat menjadi batal apabila
calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dihukum karena,
a.
Dipersalahkan telah membunuh
atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.
b.
Dipersalahkan secara memfitnah
telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang
diancam hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
c.
Dipersalahkan dengan atau
ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat
untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d.
Dipersalahkan telah
menggelapkan atau merusak atau memasukkan wasiat itu.
2)
Wasiat menjadi batal apabila
orang yang ditunjuk menerima wasiat itu :
a.
Tidak mengetahuai adanya wasiat
tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
b.
Mengetahui adanya pewasiat
tersebut tapi ia menolak untuk menerimanya.
c.
Mengetahui adanya wasiat itu
tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal
sebelum meninggalnya pewasiat.
3)
Wasiat menjadi batal apabila
barang yang diwasiatkan musnah.
Memperhatikan isi pasal 197 tersebut dapat
diperolekh kesan bahwa ketentuan batalnya wasiat tersebut dianalogikan kepada penghalang
dalam kewarisan meskipun tidak seluruhnya. Dalam rumusan fiqih sayid Sabiq
merumuskan hal-hal yang membatalkan wasiat sebagai berikut :
a.
Jika pewasiat menderita gila
hingga ia meninggal.
b.
Jika penerima wasiat meninggal
sebelum pewasiat meninggal.
c.
Jika benda yang diwasiatkan
rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat.[8]
Peunoh Daly merinci hal- hal yang menjadikan
wasiat batal kedalam tujuh hal, yaitu:
a.
Yang mennerima wasiat dengan
sengaja membunuh pemberi wasiat.
b.
Yang menerima wasiat meninggal
lebih dahulu dari si pemberi wasiat.
c.
Yang menerima wasiat menolak
wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya pemberi wasiat.
d.
Barang yang di wasiatkan itu
hancur sebagian atau seluruhnya.
e.
Barang yang di wasiatkan itu
ternyata bukan milik yang berwasiat.
f.
Yang berwasiat menarik kembali
wasiatnya.
g.
Yang memberi wasiat hilang
kecakapannya dalam melakukan perbuatan hukum karena gila terus- menerus sampai
meninggal.[9]
E. Pencabutan wasiat
Pencabutan wasiat
diatur dalam pasal 199 kompilasi, berbunyi:
1)
Pewasiat dapat mencabut
wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau
sudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
2)
Pencabutan wasiat dapat
dilakukan secara lisan dengan di saksikan oleh dua orang saksi atau tertulis
dengan di saksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaries bila
wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
3)
Bila wasiat dibuat secara
tertulis,maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh
dua orang saksi atau berdasarkan akta notaries.
4)
Bila wasiat dibuat berdasarkan
akta notaries, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte notaries.
Apabila wasiat yang
telah dilaksanakan itu dicabut maka surat wasiat yang dicabut itu diserahkan
kembali kepada pewasiat (pasal 203 ayat (2)).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN:
v Secara bahasa wasiat artinya “berpesan”. Sedangkan menurut istilah
wasiat adalah sesuatu tasharruf terhadap
harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat.
v Syarat- syarat wasiat:
1. Orang yang Berwasiat
2. Orang yang Menerima Wasiat
3. Benda yang Diwasiatkan
4. Redaksi ( Sighot ) wasiat
v Batalnya wasiat, Kompilasi mengatur masalah ini cukup rinci, yaitu
dalam pasal 197.
v Pencabutan wasiat, Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199
kompilasi.
v Yang Tidak Boleh Menerima Wasiat, Ahli waris yang telah
menerima bagian warisan, ia tidak berhak menerima wasiat
DAFTAR PUSTAKA
Ash
Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasby. Fikih
Mawaris, Semarang: Pustaka Rizqi
Putra, 1997.
Daly, Peunoh. Fungsi
Wasiat dalam Hukum Islam, Jakarta: IAIN Syahid,1985- 1986.
Rofiq, Ahmad.
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003.
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia, Bandung: PT. Rineka Aditama, 2005.
Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
Jakarta: Binaaksara, 1984.
.
[1] Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia ( Bandung: PT. Rineka
Aditama, 2005 ) hal 1
[2] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta:
Binaaksara, 1984) hal 87
[3] Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia,…hal 95
[4] Tengku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Fikih Mawaris
(Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 1997) hal 300
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003) hal 438
[6] Ibid,.. 440
[7] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,.. hal 449-457
[8] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,..hal459
[9] Peunoh Daly, Fungsi Wasiat dalam Hukum Islam (Jakarta: IAIN
Syahid,1985- 1986) hal. 24-25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar