Gadai emas syariah saat ini tengah
menjadi primadona bagi masyarakat yang memerlukan dana segar dengan cepat.
Masyarakat juga memiliki pilihan tempat untuk melakukan gadai emas syariah
karena selain di Pegadaian Syariah, yang bekerjasama dengan Bank Muamalat, kini
banyak bank-bank syariah yang membuka unit gadai syariah, seperti Bank Syariah
Mandiri, Bank Danamon Syariah, BNI Syariah, Bank BRI Syariah, dan Bank Jabar
Syariah. Gadai emas di pegadaian syariah atau bank syariah memiliki kelebihan,
seperti persyaratan mudah, proses cepat dan mudah, jaminan keamanan
standar bank, pencairan dana cepat, dan jangka waktu peminjaman yang dapat
diperbarui. Segala kelebihan di atas menjadi pendorong bagi masyarakat atau
wirausahawan untuk melakukan gadai emas syariah.
A. Pendahuluan
Gadai emas syariah saat
ini tengah menjadi primadona bagi masyarakat yang memerlukan dana segar dengan
cepat. Masyarakat juga memiliki pilihan tempat untuk melakukan gadai emas
syariah karena selain di Pegadaian Syariah, yang bekerjasama dengan Bank Muamalat,
kini banyak bank-bank syariah yang membuka unit gadai syariah, seperti Bank
Syariah Mandiri, Bank Danamon Syariah, BNI Syariah, Bank BRI Syariah, dan Bank
Jabar Syariah. Gadai emas di pegadaian syariah atau bank syariah memiliki
kelebihan, seperti persyaratan mudah, proses cepat dan mudah, jaminan
keamanan standar bank, pencairan dana cepat, dan jangka waktu peminjaman yang
dapat diperbarui. Segala kelebihan di atas menjadi pendorong bagi masyarakat
atau wirausahawan untuk melakukan gadai emas syariah.
Bagi lembaga keuangan
syariah, khususnya bank syariah, produk gadai emas juga memiliki beberapa
keuntungan. Menurut Direktur Utama Karim Business Consulting, Adiwarman A.
Karim, ada tiga keuntungan yang diperoleh bank syariah dari produk gadai emas,
yaitu 1.) profitabilitas tinggi, margin tebal karena masyarakat kecil mau bayar
mahal, 2.) bagi bank aman karena ini ibarat seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA),
tapi kalau KTA tidak ada jaminan, ini ada jaminan dan likuid, 3.) tidak ada
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Keuntungan dan kelebihan yang dapat
diberikan oleh gadai emas syariah baik bagi masyarakat maupun bank syariah
menjadikan produk pembiayaan ini memiliki prospek yang bagus untuk mendorong
partisipasi masyarakat dalam aktivitas ekonomi Islam dan ikut serta dalam
memperluas penerapan ekonomi Islam di Indonesia.
Sistem gadai emas
syariah yang saat ini sedang booming di pegadaian syariah dan bank
syariah ini tentu perlu untuk diketahui landasan syariah dan fiqh muamalahnya
agar masyarakat mendapat informasi dan edukasi yang cukup tentang sistem ini.
Selain itu, agar masyarakat mengetahui dan memahaminya sehingga ekonomi Islam
menjadi semakin akrab di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
B. Fiqh Muamalah
Fiqh muamalah terdiri
dari kata fiqh dan muamalah. Kata fiqh secara bahasa berasal dari kata
faqiha-yafqahu yang berarti faham atau mengerti. Sedangkan dalam istilahnya
fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syariah yang bersumber dari Al-Quran dan
Sunnah. Kata muamalah dari segi bahasa berasal dari kata ‘amla-yu’amilu yang
berarti saling bertindak, saling berbuat atau saling mengamalkan. Sedangkan
menurut istilah muamalah adalah adalah peraturan-peraturan Allah yang wajib
ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara
memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Dari pengertian
masing-masing kata fiqh dan muamalah di atas, dapat disimpulkan bahwa fiqh
muamalah adalah ilmu tentang aturan-aturan atau hukum Allah untuk mengatur
hubungan antar manusia agar tercipta kehidupan yang lebih baik. Fiqh
muamalah merupakan salah satu cabang dari ilmu fiqh yang lebih fokus terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Sebagaimana ilmu fiqh,
fiqh muamalah digunakan sebagai pedoman setiap muslim dalam menjalankan kegiatan
sehari-hari dengan manusia lain, baik hubungan personal ataupun hubungan kerja
atau bisnis.
Adapun alat yang
digunakan dalam menyimpulkan hukum-hukum yang terdapat dalam fiqh mu’amalah
adalah kaidah-kaidah ushul fiqh. Kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari
Al-Quran dan Sunnah yang disimpulkan oleh para ulama-ulama fiqh. Salah satu
kaidah ushul fiqh yang terdapat dalam beberapa kajian fiqh muamalah adalah
“al-ashlu fil mu’amalat al-ibhah illa ma dalla ad-dalillu ‘ala tahriimiha”
(asal hukum muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya). Artinya,
segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia yang berhubungan dengan manusia
lainnya adalah diperbolehkan, kecuali yang dilarang dalam Al-Quran, Sunnah dan
sumber hukum lainnya.
Ruang lingkup fiqh muamalah
dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, ruang lingkup yang bersifat
adabiyah (adab dan akhlak) seperti ijab dan Kabul, saling meridhai, hak dan
kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan penimbunan. Kedua,
ruang lingkup yang bersifat madiyah (materi) seperti jual beli, gadai, jaminan,
pengalihan utang, kerjasama, bagi hasil, sewa, titipan, upah, pemberian,
perdamaian, bunga bank, asuransi, kredit dan masalah-masalah turunannya.
C. Gadai (Rahn)
C. 1. Pengertian Gadai
(Rahn)
Gadai (Rahn) secara
etimologis berarti tsubut (tetap), dawam (terus-menerus) dan habs (menahan).
Adapun rahn secara terminologis adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan
hutang agar hutang itu dilunasi (dikembalikan) atau dibayarkan harganya jika
tidak dapat mengembalikan hutangnya. (At-Thayyar, 2004).
Rahn juga dapat
diartikan dengan menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai dalam pandangan
hukum untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh
atau sebagian utang dari benda itu (Sabiq, 1985).
Istilah rahn
menurut Imam Ibnu Mandzur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas
suatu manfaat barang yang diagunkan (Ibn Mandzur, 1999: hal. 347). Ulama Mazhab
Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai
jaminan utang yang bersifat mengikat“. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya
dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang
mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun
sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti
akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar
hutangnya (Hope, 1996: hal. 1480).
Berdasarkan beberapa
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai (rahn) dalam pandangan Islam
adalah harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang dan
kepercayaan terhadap utang, yang dapat dijadikan (seluruh atau sebagiannya)
untuk pembayaran utang apabila orang yang berhutang tidak dapat membayar
hutangnya.
C. 2. Hukum Gadai
Hukum asal dari gadai
adalah boleh berdasarkan nash Qur’an, Sunnah, Ijma’ Ulama.
- Al Qur’an; surat Al Baqarah ayat 283 yang artinya “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
- Sunnah; “Dari A’isyah RA, sesungguhnya Rasulullah S.a.w. pernah membeli makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya” (HR. Bukhari Muslim). “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah S.a.w. bersabda: tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan (HR. Jamaah kecuali Muslim dan An Nasai). “Dari Abu Hurairah RA, Nabi s.a.w. bersabda: tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya” (HR. Al Syafi’i, Al Daruquthni, dan Ibnu Majjah).
- Ijma’ Ulama; para ulama sepakat membolehkan akad rahn seperti dalam al Fiqh al Islam wa Adillatuhu (al Zuhaili, 1985: volume 181), Al Mughni ( Ibn Quddamah, volume 4: 362).
C. 3. Hikmah Gadai
Dalam gadai terdapat
hikmah atau manfaat bagi pihak yang menggadaikan (rahin) maupun bagi pihak yang
menerima gadai (murtahin), yaitu:
a)
Bagi Rahin (yang menggadaikan), sebagai pihak yang membutuhkan dana dengan
jalan pinjaman kebajikan, sebab adakalanya pihak atau orang yang meminjamkan
uang harus disertai dengan jaminan.
b)
Bagi Murtahin (yang menerima gadai), memberikan ketenangan sebagai jaminan atas
dana yang dikeluarkan.
C. 4. Syarat Gadai
Gadai memiliki beberapa
persyaratan yang menjadikan gadai tersebut sah atau diperbolehkan dalam hukum
syariah. Menurut At-Thayyar (2004) syarat-syarat gadai adalah sebagai berikut:
- Masing-masing dari dua pihak yang melakukan transaksi adalah mereka yang termasuk orang yang boleh membelanjakan harta, yakni baligh, berakal sehat, dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Menurut Syafi’iyyah, kedua belah pihak tidak dapat diwakilkan.
- Gadai dilakukan dengan utang yang wajib.
- Barang yang digadaikan dapat dinilai dengan uang, sehingga dapat digunakan/ dijual untuk membayar utang jika orang yang menggadaikannya tidak dapat membayar utangnya. Barang gadaian juga harus halal dalam syariat Islam dan diketahui oleh kedua pihak.
- Barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan atau orang yang mendapat izin untuk menggadaikannya.
C. 5. Beberapa Hal yang
Berkaitan dengan Gadai
C. 5. 1. Pertumbuhan
Barang Gadai
Pertumbuhan atau
pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya
terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang
gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Imam Abu Hanifah, Imam
Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang
gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada
barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang
menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai,
tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda
dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan
menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui,
(pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [Abhats Hai'at Kibar
Ulama 6/134-135.].
C. 5. 2. Pembiayaan,
Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang,
biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan
(Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian
tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil
air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia
memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut).
Pemanfaatan barang
gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan
memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam “Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu
(dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang
mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih
riwayat At-Tirmidzi.
Menurut Syaikh Al
Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada
pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga
menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki
air susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [Lihat pembahsannya dalam
Taudhih Al Ahkam 4/462-477].
Penulis kitab Al-Fiqhul
Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai menjadi hak pihak
penggadai, karena barang itu merupakan miliknya. Orang lain tidak boleh
mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi hutang)
untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya
dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman
hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan
atau hewan yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras
susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda
Rasulullah “Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila
digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila
digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberi
nafkah” [HR Al Bukhori no. 2512].
Demikian madzhab
Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan
Syafi’iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang
gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya
biaya pemeliharaannya” [HR Al daraquthni dan Al Hakim]
Ibnul Qayyim
rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan gadai,
bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syari’at menunjukkan, hewan gadai
dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin
(yang memberikan hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang
gadai tersebut ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu
kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi
(qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (Murtahin) dan hewan
tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan
menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan
pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat
kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. [Dinukil dari Taudhih Al Ahkaam 4/462].
C. 5. 3. Perpindahan
Kepemilikan dan Pelunasan Utang dengan Barang Gadai
Barang gadai tidak
berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa
perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan
rahin tidak mampu melunasinya.
Pada zaman jahiliyah
dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan
belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang
berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang
menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan
bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang
berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali
dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi
saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan
hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak
pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut).
Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka
orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya. [Taudhih
Al Ahkaam 4/467].
Kesimpulannya, barang
gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo,
maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah
hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti
hutang tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau
memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang
tersebut. Adapun bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya,
maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang
gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran
hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut
enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka
pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya
tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai
tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah
pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Adapun Malikiyah,
mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya
dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah
memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta
pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau
melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun
memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman. [Al
Fiqh Al Muyassar hal 119]
Pendapat yang rajih
(jelas), pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil
penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya
adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai
tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya,
jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh
hutangnya, maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya,
maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang gadai
denan hutangnya dan ia wajib melunasinya.
Demikianlah keindahan
Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang dilakukan
secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan.
Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara
menyita barang gadai, walau nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin
berlipat-lipat. Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan
Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar
dari perbuatan ini.
D. Gadai Emas
Gadai Emas di perbankan
syariah merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas dalam bentuk
lantakan ataupun perhiasan sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai
dengan cepat, aman dan mudah. Cepat dari pihak nasabah dalam mendapatkan dana
pinjaman tanpa prosedur yang panjang di bandingkan dengan produk pembiayaan
lainnya. Aman dari pihak bank, karena bank memiliki barang jaminan yaitu emas
yang bernilai tinggi dan relatif stabil bahkan nilainya cenderung bertambah.
Mudah berarti pihak nasabah dapat kembali memiliki emas yang digadaikannya dengan
mengembalikan sejumlah uang pinjaman dari bank, sedangkan mudah dari pihak bank
yaitu ketika nasabah tidak mampu mengembalikan pinjamannya (utang) maka bank
dengan mudah dapat menjualnya dengan harga yang bersaing karena nilai emas yang
stabil bahkan bertambah.
Prinsip yang digunakan
dalam gadai emas syariah baik di bank syariah ataupun di pegadaian syariah
tidak berbeda dengan prinsip gadai pada umumnya. Mulai dari persyaratan, biaya
(ongkos) administrasi, biaya pemeliharaan/ penyimpanan, hingga mekanisme
penjualan barang gadaian ketika pihak yang menggadaikan tidak dapat melunasi
utangnya.
Gadai emas memiliki
keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan barang gadaian lainnya. Emas
merupakan logam mulia yang bernilai tinggi dan harganya relative stabil bahkan
selalu menunjukkan tren yang positif setiap tahunnya. Emas juga merupakan
barang atau harta yang dapat dengan mudah dimiliki oleh setiap orang khususnya
emas dalam bentuk perhiasan. Ketika seseorang membutuhkan uang tunai, maka ia
dapat dengan mudah menggadaikan perhiasaannya kepada lembaga penggadaian atau
bank syariah. Setelah ia dapat melunasi utangnya, ia dapat memiliki kembali
perhiasannya. Artinya, seseorang dengan mudah mendapatkan uang tunai tanpa
harus menjual emas atau perhiasan yang dimilikinya.
Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam gadai emas syariah baik di bank syariah maupun di
lembaga yang menawarkan produk gadai emas syariah. Hal yang dimaksud adalah
biaya administrasi dan biaya pemeliharaan.
Biaya administrasi
Biaya administrasi
adalah ongkos atau pengorbanan materi yang dikeluarkan oleh bank dalam hal
pelaksanaan akad gadai dengan penggadai (rahin). Para ulama sepakat bahwa
segala biaya yang bersumber dari barang yang digadaikan adalah menjadi
tanggungan penggadai. Oleh karena itu, biaya administrasi gadai dibebankan
kepada penggadai.
Karena biaya
administrasi merupakan ongkos yang dikeluarkan bank, maka pihak bank yang lebih
mengetahui dalam menghitung rincian biaya administrasi. Setelah bank menghitung
total biaya administrasi, kemudian nasabah atau penggadai mengganti biaya
administrasi tersebut.
Namun, tidak banyak
atau bahkan sangat jarang nasabah yang mengetahui rincian biaya administrasi
tersebut. Bank hanya menginformasikan total biaya administrasi yang harus
ditanggung oleh nasabah atau penggadai tanpa menyebutkan rinciannya.
Keterbukaan dalam menginformasikan rincian biaya administrasi tersebut sangat
penting dalam rangka keterbukaan yang kaitannya dengan ridha bi ridha, karena
biaya administrasi tersebut dibebankan kepada nasabah atau penggadai.
Dewan Syariah Nasional
dalam Fatwa No. 26/ DSN-MUI/ III/2002 menyebutkan bahwa biaya atau ongkos yang
ditanggung oleh penggadai besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata
diperlukan. Artinya, penggadai harus mengetahui besar rincian dan pengeluaran
apa saja yang dikeluarkan oleh bank untuk melaksanakan akad gadai, seperti
biaya materai, jasa penaksiran, formulir akad, foto copy, print out, dll. Hal
tersebut diatas yang juga menyebabkan biaya administrasi harus dibayar di
depan.
Intinya adalah pihak
bank tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari akad gadai syariah.
Karena pada dasarnya akad gadai adalah transaksi pinjam-meminjam (qardh)
yang bersifat tabarru’ yang berarti kebaikan atau tolong menolong. Sehingga
tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan atau manfaat dari kegiatan
pinjam-meminjam (qardh) karena sifatnya adalah tabarru’. Sesuai dengan hadits
tentang pinjaman (qard) berikut:
Rasul bersabda : “kullu
qardhin jarra manfa’atan fahuwa wajhun min wujûhi ar-ribâ (Setiap pinjaman yang
menarik suatu manfaat maka itu termasuk salah satu bentuk riba.) [HR
al-Baihaqi]
Biaya pemeliharaan
Biaya pemeliharaan
Biaya pemeliharaan atau
penyimpanan merupakan biaya yang dibutuhkan untuk merawan barang gadaian selama
jangka waktu pada akad gadai. Sesuai dengan pendapat para jumhur ulama biaya
pemeliharaan atau penyimpanan menjadi tanggungan penggadai (rahin). Karena pada
dasarnya penggadai (rahin) masih menjadi pemilik dari barang gadaian tersebut,
sehingga dia bertanggungjawab atas seluruh biaya yang dikeluarkan dari barang
gadai miliknya.
Akad yang digunakan
untuk penerapan biaya pemeliharaan atau penyimpanan adalah akad ijarah (sewa).
Artinya, penggadai (rahin) menyewa tempat di bank untuk menyimpan atau
menitipkan barang gadainya, kemudian bank menetapkan biaya sewa tempat. Dalam
pengertian lainnya, penggadai (rahin) menggujakan jasa bank untuk menyimpan
atau memelihara barang gadainya hingga jangka waktu gadai berakhir. Biaya
pemeliharaan/ penyimpanan ataupun biaya sewa tersebut diperbolehkan oleh para
ulama dengan merujuk kepada diperbolehkannya akad ijarah.
Biaya pemeliharaan/
penyimpanan/ sewa dapat berupa biaya sewa tempat SDB (Save Deposit Box), biaya
pemeliharaan, biaya keamanan, dan biaya lainnya yang diperlukan untuk memelihara
atau menyimpan barang gadai tersebut.
Dengan akad ijarah
dalam pemeliharaan atau penyimpanan barang gadaian bank dapat memperoleh
pendapatan yang sah dan halal. Bank akan mendapatkan fee atau upah atas jasa
yang diberikan kepada penggadai atau bayaran atas jasa sewa yang diberikan
kepada penggadai.
Oleh karena itu, gadai
emas syariah sangat bermanfaat bagi penggadai yang membutuhkan dana tunai
dengan cepat dan bagi pihak bank yang menyediakan jasa gadai emas syariah
karena bank akan mendapatkan pemasukan atau keuntungan dari jasa penitipan
barang gadaian dan bukan dari kegiatan gadai itu sendiri.
Kesimpulan
Secara prinsip, gadai
emas syariah pada dasarnya sama dengan gadai pada umumnya. Produk-produk gadai
emas syariah yang terdapat pada berbagai bank syariah secara konsep sesuai
dengan prinsip-prinsip gadai yang terdapat dalam fiqh muamalah. Namun, dalam
prakteknya perlu dipertahikan hal-hal seperti keterbukaan dalam penetapan biaya
administrasi, kewajaran biaya pemeliharaan atau penyimpanan dan proses
penjualan barang gadai ketika penggadai tidak mampu menebus atau membayar
utangnya.
Setiap bank syariah
menawarkan keunggulan dan fasilitas dari masing-masing produk gadai emas
syariah yang dimiliki. Biaya dari produk yang ditawarkan sangat beragam dan cukup
bersaing, mulai dari maksimal dana pinjaman yang dapat diperoleh penggadai dari
taksiran (80%-90%), besarnya biaya administrasi dan biaya penyimpanan. Oleh
karena itu, nasabah atau penggadai diharap untuk lebih selektif dalam memilih
produk yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhannya akan tetapi juga sesuai
dengan syariah.
Referensi
sAth-Thayyar, Abdullah bin Muhammad., 2004, “Ensiklopedia Fiqh Muamalah
dalam Pandangan 4 Madzhab (terjemahan)”, edisi pertama, Maktabah Al-Hanif,
Yogyakarta.
Bassam Al, Abdullah bin
Abdurrahman. 1997. “Taudhihu-l-al-Alkam min Bulughu-l-Maram”. Jilid IV.
Mu’assasah al-Khidmaat at-Thiba’iyah. Beirut.
Dewan Syariah Nasional
MUI dan Bank Indonesia, 2006, “Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI”, Cet
3, CV. Gaung Persada, Ciputat-Jakarta
Sabiq, Sayyid., 1985,
“Fiqh As-Sunnah”, Muhammad Sa‘eed Dabas, Jamal al-Din M. Zarabozo,
translators, , American Trust Publications. Indianapolis.
Suhendi, Hendi., 2008,
Fiqh Muamalah, edisi pertama, cetakan keempat, Rajawali Press, Jakarta.
Zuhaili, Wahbah. 1985.
Fiqh Al Islam Wa Adilatuhu. Volume 181. Damaskus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar