Senin, 18 Juni 2012

Kajian Fiqh Muamalah Tentang Gadai Emas Syariah


Gadai emas syariah saat ini tengah menjadi primadona bagi masyarakat yang memerlukan dana segar dengan cepat. Masyarakat juga memiliki pilihan tempat untuk melakukan gadai emas syariah karena selain di Pegadaian Syariah, yang bekerjasama dengan Bank Muamalat, kini banyak bank-bank syariah yang membuka unit gadai syariah, seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Danamon Syariah, BNI Syariah, Bank BRI Syariah, dan Bank Jabar Syariah. Gadai emas di pegadaian syariah atau bank syariah memiliki kelebihan, seperti persyaratan mudah, proses cepat dan mudah,  jaminan keamanan standar bank, pencairan dana cepat, dan jangka waktu peminjaman yang dapat diperbarui. Segala kelebihan di atas menjadi pendorong bagi masyarakat atau wirausahawan  untuk melakukan gadai emas syariah.
A. Pendahuluan
Gadai emas syariah saat ini tengah menjadi primadona bagi masyarakat yang memerlukan dana segar dengan cepat. Masyarakat juga memiliki pilihan tempat untuk melakukan gadai emas syariah karena selain di Pegadaian Syariah, yang bekerjasama dengan Bank Muamalat, kini banyak bank-bank syariah yang membuka unit gadai syariah, seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Danamon Syariah, BNI Syariah, Bank BRI Syariah, dan Bank Jabar Syariah. Gadai emas di pegadaian syariah atau bank syariah memiliki kelebihan, seperti persyaratan mudah, proses cepat dan mudah,  jaminan keamanan standar bank, pencairan dana cepat, dan jangka waktu peminjaman yang dapat diperbarui. Segala kelebihan di atas menjadi pendorong bagi masyarakat atau wirausahawan  untuk melakukan gadai emas syariah.
Bagi lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah, produk gadai emas juga memiliki beberapa keuntungan. Menurut Direktur Utama Karim Business Consulting, Adiwarman A. Karim, ada tiga keuntungan yang diperoleh bank syariah dari produk gadai emas, yaitu 1.) profitabilitas tinggi, margin tebal karena masyarakat kecil mau bayar mahal, 2.) bagi bank aman karena ini ibarat seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA), tapi kalau KTA tidak ada jaminan, ini ada jaminan dan likuid, 3.) tidak ada Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Keuntungan dan kelebihan yang dapat diberikan oleh gadai emas syariah baik bagi masyarakat maupun bank syariah menjadikan produk pembiayaan ini memiliki prospek yang bagus untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam aktivitas ekonomi Islam dan ikut serta dalam memperluas penerapan ekonomi Islam di Indonesia.
Sistem gadai emas syariah yang saat ini sedang booming di pegadaian syariah dan bank syariah ini tentu perlu untuk diketahui landasan syariah dan fiqh muamalahnya agar masyarakat mendapat informasi dan edukasi yang cukup tentang sistem ini. Selain itu, agar masyarakat mengetahui dan memahaminya sehingga ekonomi Islam menjadi semakin akrab di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
B. Fiqh Muamalah
Fiqh muamalah terdiri dari kata fiqh dan muamalah. Kata fiqh secara bahasa berasal dari kata faqiha-yafqahu yang berarti faham atau mengerti. Sedangkan dalam istilahnya fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syariah yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Kata muamalah dari segi bahasa berasal dari kata ‘amla-yu’amilu yang berarti saling bertindak, saling berbuat atau saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah muamalah adalah adalah peraturan-peraturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Dari pengertian masing-masing kata fiqh dan muamalah di atas, dapat disimpulkan bahwa fiqh muamalah adalah ilmu tentang aturan-aturan atau hukum Allah untuk mengatur hubungan antar manusia agar tercipta kehidupan yang lebih baik.  Fiqh muamalah merupakan salah satu cabang dari ilmu fiqh yang lebih fokus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Sebagaimana ilmu fiqh, fiqh muamalah digunakan sebagai pedoman setiap muslim dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dengan manusia lain, baik hubungan personal ataupun hubungan kerja atau bisnis.
Adapun alat yang digunakan dalam menyimpulkan hukum-hukum yang terdapat dalam fiqh mu’amalah adalah kaidah-kaidah ushul fiqh. Kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari Al-Quran dan Sunnah yang disimpulkan oleh para ulama-ulama fiqh. Salah satu kaidah ushul fiqh yang terdapat dalam beberapa kajian fiqh muamalah adalah “al-ashlu fil mu’amalat al-ibhah illa ma dalla ad-dalillu ‘ala tahriimiha” (asal hukum muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya). Artinya, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya adalah diperbolehkan, kecuali yang dilarang dalam Al-Quran, Sunnah dan sumber hukum lainnya.
Ruang lingkup fiqh muamalah dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, ruang lingkup yang bersifat adabiyah (adab dan akhlak) seperti ijab dan Kabul, saling meridhai, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan penimbunan. Kedua, ruang lingkup yang bersifat madiyah (materi) seperti jual beli, gadai, jaminan, pengalihan utang, kerjasama, bagi hasil, sewa, titipan, upah, pemberian, perdamaian, bunga bank, asuransi, kredit dan masalah-masalah turunannya.
C. Gadai (Rahn)
C. 1. Pengertian Gadai (Rahn)
Gadai (Rahn) secara etimologis berarti tsubut (tetap), dawam (terus-menerus) dan habs (menahan). Adapun rahn secara terminologis adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang agar hutang itu dilunasi (dikembalikan) atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikan hutangnya. (At-Thayyar, 2004).
Rahn juga dapat diartikan dengan menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai dalam pandangan hukum untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian utang dari benda itu (Sabiq, 1985).
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandzur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan (Ibn Mandzur, 1999: hal. 347). Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat“. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya (Hope, 1996: hal. 1480).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai (rahn) dalam pandangan Islam adalah harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang dan kepercayaan terhadap utang, yang dapat dijadikan (seluruh atau sebagiannya) untuk pembayaran utang apabila orang yang berhutang tidak dapat membayar hutangnya.
C. 2. Hukum Gadai
Hukum asal dari gadai adalah boleh  berdasarkan nash Qur’an, Sunnah, Ijma’ Ulama.
  1. Al Qur’an; surat Al Baqarah ayat 283 yang artinya “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
  2. Sunnah; “Dari A’isyah RA, sesungguhnya Rasulullah S.a.w. pernah membeli makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya” (HR. Bukhari Muslim). “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah S.a.w. bersabda: tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan (HR. Jamaah kecuali Muslim dan An Nasai). “Dari Abu Hurairah RA, Nabi s.a.w. bersabda: tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya” (HR. Al Syafi’i, Al Daruquthni, dan Ibnu Majjah).
  3. Ijma’ Ulama; para ulama sepakat membolehkan akad rahn seperti dalam al Fiqh al Islam wa Adillatuhu (al Zuhaili, 1985: volume 181), Al Mughni ( Ibn Quddamah, volume 4: 362).
C. 3. Hikmah Gadai
Dalam gadai terdapat hikmah atau manfaat bagi pihak yang menggadaikan (rahin) maupun bagi pihak yang menerima gadai (murtahin), yaitu:
a)      Bagi Rahin (yang menggadaikan), sebagai pihak yang membutuhkan dana dengan jalan pinjaman kebajikan, sebab adakalanya pihak atau orang yang meminjamkan uang harus disertai dengan jaminan.
b)      Bagi Murtahin (yang menerima gadai), memberikan ketenangan sebagai jaminan atas dana yang dikeluarkan.
C. 4. Syarat Gadai
Gadai memiliki beberapa persyaratan yang menjadikan gadai tersebut sah atau diperbolehkan dalam hukum syariah. Menurut At-Thayyar (2004) syarat-syarat gadai adalah sebagai berikut:
  1. Masing-masing dari dua pihak yang melakukan transaksi adalah mereka yang termasuk orang yang boleh membelanjakan harta, yakni baligh, berakal sehat, dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Menurut Syafi’iyyah, kedua belah pihak tidak dapat diwakilkan.
  2. Gadai dilakukan dengan utang yang wajib.
  3. Barang yang digadaikan dapat dinilai dengan uang, sehingga dapat digunakan/ dijual untuk membayar utang jika orang yang menggadaikannya tidak dapat membayar utangnya. Barang gadaian juga harus halal dalam syariat Islam dan diketahui oleh kedua pihak.
  4. Barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan atau orang yang mendapat izin untuk menggadaikannya.
C. 5. Beberapa Hal yang Berkaitan dengan Gadai
C. 5. 1. Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [Abhats Hai'at Kibar Ulama 6/134-135.].
C. 5. 2. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut).
Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi.
Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [Lihat pembahsannya dalam Taudhih Al Ahkam 4/462-477].
Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu merupakan miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasulullah “Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberi nafkah” [HR Al Bukhori no. 2512].
Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya” [HR Al daraquthni dan Al Hakim]
Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syari’at menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. [Dinukil dari Taudhih Al Ahkaam 4/462].
C. 5. 3. Perpindahan Kepemilikan dan Pelunasan Utang dengan Barang Gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya.
Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya. [Taudhih Al Ahkaam 4/467].
Kesimpulannya, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman. [Al Fiqh Al Muyassar hal 119]
Pendapat yang rajih (jelas), pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang gadai denan hutangnya dan ia wajib melunasinya.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat. Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar dari perbuatan ini.
D. Gadai Emas
Gadai Emas di perbankan syariah merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas dalam bentuk lantakan ataupun perhiasan sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai dengan cepat, aman dan mudah. Cepat dari pihak nasabah dalam mendapatkan dana pinjaman tanpa prosedur yang panjang di bandingkan dengan produk pembiayaan lainnya. Aman dari pihak bank, karena bank memiliki barang jaminan yaitu emas yang bernilai tinggi dan relatif stabil bahkan nilainya cenderung bertambah. Mudah berarti pihak nasabah dapat kembali memiliki emas yang digadaikannya dengan mengembalikan sejumlah uang pinjaman dari bank, sedangkan mudah dari pihak bank yaitu ketika nasabah tidak mampu mengembalikan pinjamannya (utang) maka bank dengan mudah dapat menjualnya dengan harga yang bersaing karena nilai emas yang stabil bahkan bertambah.
Prinsip yang digunakan dalam gadai emas syariah baik di bank syariah ataupun di pegadaian syariah tidak berbeda dengan prinsip gadai pada umumnya. Mulai dari persyaratan, biaya (ongkos) administrasi, biaya pemeliharaan/ penyimpanan, hingga mekanisme penjualan barang gadaian ketika pihak yang menggadaikan tidak dapat melunasi utangnya.
Gadai emas memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan barang gadaian lainnya. Emas merupakan logam mulia yang bernilai tinggi dan harganya relative stabil bahkan selalu menunjukkan tren yang positif setiap tahunnya. Emas juga merupakan barang atau harta yang dapat dengan mudah dimiliki oleh setiap orang khususnya emas dalam bentuk perhiasan. Ketika seseorang membutuhkan uang tunai, maka ia dapat dengan mudah menggadaikan perhiasaannya kepada lembaga penggadaian atau bank syariah. Setelah ia dapat melunasi utangnya, ia dapat memiliki kembali perhiasannya. Artinya, seseorang dengan mudah mendapatkan uang tunai tanpa harus menjual emas atau perhiasan yang dimilikinya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam gadai emas syariah baik di bank syariah maupun di lembaga yang menawarkan produk gadai emas syariah. Hal yang dimaksud adalah biaya administrasi dan biaya pemeliharaan.
Biaya administrasi
Biaya administrasi adalah ongkos atau pengorbanan materi yang dikeluarkan oleh bank dalam hal pelaksanaan akad gadai dengan penggadai (rahin). Para ulama sepakat bahwa segala biaya yang bersumber dari barang yang digadaikan adalah menjadi tanggungan penggadai. Oleh karena itu, biaya administrasi gadai dibebankan kepada penggadai.
Karena biaya administrasi merupakan ongkos yang dikeluarkan bank, maka pihak bank yang lebih mengetahui dalam menghitung rincian biaya administrasi. Setelah bank menghitung total biaya administrasi, kemudian nasabah atau penggadai mengganti biaya administrasi tersebut.
Namun, tidak banyak atau bahkan sangat jarang nasabah yang mengetahui rincian biaya administrasi tersebut. Bank hanya menginformasikan total biaya administrasi yang harus ditanggung oleh nasabah atau penggadai tanpa menyebutkan rinciannya. Keterbukaan dalam menginformasikan rincian biaya administrasi tersebut sangat penting dalam rangka keterbukaan yang kaitannya dengan ridha bi ridha, karena biaya administrasi tersebut dibebankan kepada nasabah atau penggadai.
Dewan Syariah Nasional dalam Fatwa No. 26/ DSN-MUI/ III/2002 menyebutkan bahwa biaya atau ongkos yang ditanggung oleh penggadai besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Artinya, penggadai harus mengetahui besar rincian dan pengeluaran apa saja yang dikeluarkan oleh bank untuk melaksanakan akad gadai, seperti biaya materai, jasa penaksiran, formulir akad, foto copy, print out, dll. Hal tersebut diatas yang juga menyebabkan biaya administrasi harus dibayar di depan.
Intinya adalah pihak bank tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari akad gadai syariah. Karena pada dasarnya akad gadai adalah transaksi pinjam-meminjam  (qardh) yang bersifat tabarru’ yang berarti kebaikan atau tolong menolong. Sehingga tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan atau manfaat dari kegiatan pinjam-meminjam (qardh) karena sifatnya adalah tabarru’. Sesuai dengan hadits tentang pinjaman (qard) berikut:
Rasul bersabda : “kullu qardhin jarra manfa’atan fahuwa wajhun min wujûhi ar-ribâ (Setiap pinjaman yang menarik suatu manfaat maka itu termasuk salah satu bentuk riba.) [HR al-Baihaqi]
Biaya pemeliharaan
Biaya pemeliharaan atau penyimpanan merupakan biaya yang dibutuhkan untuk merawan barang gadaian selama jangka waktu pada akad gadai. Sesuai dengan pendapat para jumhur ulama biaya pemeliharaan atau penyimpanan menjadi tanggungan penggadai (rahin). Karena pada dasarnya penggadai (rahin) masih menjadi pemilik dari barang gadaian tersebut, sehingga dia bertanggungjawab atas seluruh biaya yang dikeluarkan dari barang gadai miliknya.
Akad yang digunakan untuk penerapan biaya pemeliharaan atau penyimpanan adalah akad ijarah (sewa). Artinya, penggadai (rahin) menyewa tempat di bank untuk menyimpan atau menitipkan barang gadainya, kemudian bank menetapkan biaya sewa tempat. Dalam pengertian lainnya, penggadai (rahin) menggujakan jasa bank untuk menyimpan atau memelihara barang gadainya hingga jangka waktu gadai berakhir. Biaya pemeliharaan/ penyimpanan ataupun biaya sewa tersebut diperbolehkan oleh para ulama dengan merujuk kepada diperbolehkannya akad ijarah.
Biaya pemeliharaan/ penyimpanan/ sewa dapat berupa biaya sewa tempat SDB (Save Deposit Box), biaya pemeliharaan, biaya keamanan, dan biaya lainnya yang diperlukan untuk memelihara atau menyimpan barang gadai tersebut.
Dengan akad ijarah dalam pemeliharaan atau penyimpanan barang gadaian bank dapat memperoleh pendapatan yang sah dan halal. Bank akan mendapatkan fee atau upah atas jasa yang diberikan kepada penggadai atau bayaran atas jasa sewa yang diberikan kepada penggadai.
Oleh karena itu, gadai emas syariah sangat bermanfaat bagi penggadai yang membutuhkan dana tunai dengan cepat dan bagi pihak bank yang menyediakan jasa gadai emas syariah karena bank akan mendapatkan pemasukan atau keuntungan dari jasa penitipan barang gadaian dan bukan dari kegiatan gadai itu sendiri.
Kesimpulan
Secara prinsip, gadai emas syariah pada dasarnya sama dengan gadai pada umumnya. Produk-produk gadai emas syariah yang terdapat pada berbagai bank syariah secara konsep sesuai dengan prinsip-prinsip gadai yang terdapat dalam fiqh muamalah. Namun, dalam prakteknya perlu dipertahikan hal-hal seperti keterbukaan dalam penetapan biaya administrasi, kewajaran biaya pemeliharaan atau penyimpanan dan proses penjualan barang gadai ketika penggadai tidak mampu menebus atau membayar utangnya.
Setiap bank syariah menawarkan keunggulan dan fasilitas dari masing-masing produk gadai emas syariah yang dimiliki. Biaya dari produk yang ditawarkan sangat beragam dan cukup bersaing, mulai dari maksimal dana pinjaman yang dapat diperoleh penggadai dari taksiran (80%-90%), besarnya biaya administrasi dan biaya penyimpanan. Oleh karena itu, nasabah atau penggadai diharap untuk lebih selektif dalam memilih produk yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhannya akan tetapi juga sesuai dengan syariah.
Referensi
sAth-Thayyar, Abdullah bin Muhammad., 2004, “Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab (terjemahan)”, edisi pertama, Maktabah Al-Hanif, Yogyakarta.
Bassam Al, Abdullah bin Abdurrahman. 1997. “Taudhihu-l-al-Alkam min Bulughu-l-Maram”. Jilid IV. Mu’assasah al-Khidmaat at-Thiba’iyah. Beirut.
Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, 2006, “Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI”, Cet 3, CV. Gaung Persada, Ciputat-Jakarta
Sabiq, Sayyid., 1985, “Fiqh As-Sunnah”, Muhammad Sa‘eed Dabas, Jamal al-Din M. Zarabozo, translators, , American Trust Publications. Indianapolis.
Suhendi, Hendi., 2008, Fiqh Muamalah, edisi pertama, cetakan keempat,  Rajawali Press, Jakarta.
Zuhaili, Wahbah. 1985. Fiqh Al Islam Wa Adilatuhu. Volume 181. Damaskus.
MultiplyLogo
The Multiply Marketplace

Klik di sini untuk sembunyikan pesan.

This message will disappear in 1 seconds.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar