Ratusan
tahun sudah ekonomi dunia didominasi oleh sistem bunga. Hampir semua perjanjian
di bidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah dapat
mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain
sehingga terus-menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman dibawah dominasi
perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidak
mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Di dunia, diantara negara maju
dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang didalam negara
berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam.
Dalam
kaitan dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi, para ahli ekonomi tidak melihat
sistem bunga sebagai biang keladinya. Karena luput dari pengamatan, Pemerintah
di negara manapun dibikin repot dengan ulah sistem bunga yang build – in
concept – nya memang bersifat kapitalistik dan diskriminalistik.
Selanjutnya
perkembangan perbankan Islam merupakan fenomena yang menarik kalangan akademisi
maupun praktisi dalam 20 tahun terakhir. Kita patut bersyukur di bangsa
Indonesia bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992,
dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia, Pemerintah telah memberi
peluang berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah berdasarkan sistem bagi
hasil. Kemudian Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan
Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan langkah maju dalam
perkembangan perbankan, terutama bagi perbankan syariah.
Sebagian
umat Islam di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu mulai
memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah,
asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham,
menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan
sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide
untuk berdirinya lembaga- lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti:
modal ventura, leasing, dan pegadaian.
Dari
pengalaman mendirikan bank syariah dan asuransi syariah, serta reksadana
syariah, diperlukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu, sehingga dengan
demikian untuk berdirinya pegadaian syariahpun diperlukan pengkajian terhadap
berbagai aspeknya secara luas dan mendalam.
Fiqh
Pegadaian Syariah.
Dalam
Fikih Muamalah, perjanjian gadai disebut “rahn”. Rahn menurut bahasa
berarti penahanan dan penetapan . sebagaimana firman
Allah Swt:
“Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. Qs.74:38
Landasan
hukum Rahn atau landasan pinjam meminjam dengan jaminan (barg) adalah firman
Allah:
Surat
Al-Baqarah, ayat 283 :
“
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang)”.
Landasan
hukum lainnya adalah hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah
ra.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ.
“Dari
Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan
menggadaikannya dengan besi”.
Dan hadits dari Anas ra.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ
وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ
بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ.
“Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti
dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada
seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang
Yahudi”.
Landasan
hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian gadai.
Tentang
siapa yang harus menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di
tangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb, adalah merupakan
ijtihad yang dilakukan para fukaha.
Unsur-unsur
rahn adalah : orang yang menyerahkan barang gadai disebut ‘rahin’, orang
yang menerima barang gadai disebut “ murtahin “, dan barang yang
digadaikan disebut “ marhun “ dan hutang yang disebut “marhun bih”..
- Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai.
Lafaz
dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
- Adanya pemberi dan penerima gadai.
Pemberi
dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat
dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan
syari’at Islam.
- Adanya barang yang digadaikan.
Barang
yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu
adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada dibawah
pengasaan penerima gadai.
- Adanya utang/hutang.
Hutang
yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau
mengandung unsur riba.
Mengenai
barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam Kifayatul
Akhyar bahwa semua barang yang boleh dijual-belikan
menurut syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.
Aspek
lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan perjanjian gadai
adalah yang menyangkut masalah hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam
situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak normal. Situasi dan Kondisi
yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force mayor
seperti perampokan, bencana alam, dan sebagainya.
Dalam
keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya adalah menerima
uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang disepakati dalam batas nilai
jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah menyerahkan barang jaminan yang
nilainya cukup untuk jumlah hutang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari
murtahin adalah menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang
akan dipinjamkannya., sedang kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman
sesuai dengan yang disepakati bersama.
Setelah
jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan hutangnya dan
berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan sejumlah uang yang diterima pada
awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin berhak menerima pembayaran hutang
sejumlah uang yang diberikan pada awal perjanjian hutang, sedang kewajibannya
adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang rahin secara utuh
tanpa cacat.
Di
atas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara
barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya
dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban
membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah
menerima barang yang menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh.
Dasar hukum
siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang
didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat Al-Syafi’i dan Al-Darulquthni dari
Muswiyah bin Abdullah bin Ja’far :
“Ia
(pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul bebannya
(beban pemeliharaannya)"
Di tempat lain
terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu diizinkan untuk diambil
manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang memanfaatkan itu berkewajiban
membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW :
Dari
Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW : “Punggung (binatang) apabila
digadaikan, boleh dinaiki asal dibiayai. Dan susu yang deras apabila
digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai. Dan orang yang menaiki dan
meminum itulah yang wajib membiayai.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam
keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak, sakit
atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban
rahin melunasi hutangnya. Namun dalam praktek pihak
murtahim telah mengambil langkah-langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian
sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil.
Mengenai
pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu Hurairah perjanjian gadai
tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berhutang dan menyerahkan barang
jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya.
Dari
Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW :
“Barang
jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Dia
tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang “.
Pada
waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya dan tidak
mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka hakim/pengadilan dapat
memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual barangnya. Hasil penjualan
apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan
kepada pemilik barang tetapi apabila kurang pemilik barang tetap harus menutup
kekurangannya.
Dalam
hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang, maka
penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil
penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih
dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus
menutup kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah
melunasi hutang almarhum pemilik barang.
Dari
ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai sesuai
syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara
individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat menurut
Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana
bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan. Hutang piutang dalam
bentuk alqardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk
keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu :
dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang
dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.
Di
dalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu
jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok).
Peminjam menanggung biaya yang secara nyata terjadi seperti biata penyimpanan
dll., dan dibayarkan dalam bentuk uang (bukan prosentase). Peminjam pada waktu
jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela
pengembalian hutangnya.
Apabila
peminjam memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu saja akan
mempertimbangkannya apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila
peminjam memilih perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati
porsi bagi hasil masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai
mudharib.
Dalam
kaitannya dengan keperluan komersial, tentunya peminjam bukanlah orang miskin
karena dia mempunyai simpanan dalam bentuk harta tiak produktif (hoarding) yang
dapat digadaikan. Dengan demikian fungsi dari gadai disini adalah mencairkan
atau memproduktifkan (dishoarding) harta yang beku.
Dari
uraian tersebut diatas, tidak tersurat sedikitpun uraian tentang lembaga gadai
syariah sebagai perusahaan, mungkin karena pada waktu peristiwa itu terjadi
belum ada lembaga gadai sebagai suatu perusahaan. Hal serupa juga terjadi pada
lembaga hutang piutang syariah yang pada mulanya hanya menyangkut hubungan
antar pribadi kemudian berkembang menjadi hubungan antara pribadi dengan bank.
Pengembangan
hubungan antar pribadi menjadi hubungan antara pribadi dengan suatu bentuk
perusahaan tentu membawa konsekuensi yang luas dan menyangkut berbagai aspek.
Namun hendaknya tetap dipahami bahwa lembaga gadai adalah pelengkap dari
lembaga hutang piutang. Hal ini juga mengandung arti bahwa hukum gadai dalam
keadaan normal tidak merubah status kepemilikan. Baru apabila terjadi keadaan
yang tidak normal, misalnya rahin pada saat jatuh tempo tidak mampu melunasi
hutangnya maka bisa terjadi peristiwa penyitaan dan lelang oleh pejabat yang
berwenang.
Keadaan
tidak normal ini bisa merubah status kepemilikan sehingga berkembang menjadi
jual beli tunai (tijari), jual beli tangguh bayar (murabaha), dan jual beli
dengan pembayaran angsuran (baiu bithaman ajil).
Bagaimana
konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak berbeda
dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Alternatif yang
tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua, yaitu hubungan dalam rangka
perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan, dan
hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk
mudharabah.
Lembaga gadai
syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal sedang
nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai
mudharib, tergantung akternatif yang dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu
diperhatikan pada lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan,
aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek
pengawasan, dan lain-lain.
Operasionalisasi
Lembaga Gadai Syariah.
Dengan
memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai syariah
untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa melakukan
perjanjian hutang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep
hutang piutang secara syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan, dimana
pada bentuk ini tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan
sosial.
Gadai
yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283. Tidak ada
tambahan biaya apapun diatas pokok pinjaman bagi si peminjam kecuali yang
dipakainya sendiri untuk syahnya suatu perjanjian hutang. Dalam hal ini
biaya-biaya seperti materai dan akte notaris menjadi beban peminjam. Bunga uang
yang kita kenal walaupun dengan nama apapun tidak sesuai dengan prinsip
syariah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam perjanjian hutang piutang
secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan sangat
dianjurkan dalam islam lebih utama daripada memberikan infaq.
Hal
ini menurut Khan karena infaq menimbulkan masalah kehormatan diri pada peminjam
dan mengurangi dorongan dirinya untuk berjuang dan berusaha. Infaq katanya
diperlukan dalam kasus-kasus dimana pengembalian hutang tidak mungkin
dilakukan. Dengan demikian al-Qardhul hassan adalah lembaga bersaudara dengan
infaq.
Tanggung
jawab ini beralih kepada satuan keluarga, RT/RW, Kelurahan, bahkan sampai
kepada negara.
Perjanjian
hutang piutang juga diperlukan bagi keperluan komersiil. Dalam hal perjanjian
hutang piutang ini untuk keperluan komersiil, maka biasanya kelengkapan gadai
yang cukup menjadi persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan
bahwa sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang yang miskin tetapi orang yang
mempunyai sejumlah harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan
ini adalah melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk
al-qardhul hassan atau melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam
bentuk mudharabah.
a. Perjanjian
hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan.
Apabila
pilihan seorang peminjam adalah pinjaman gadai dalam bentuk qardhul hassan,
maka biasanya peminjam adalah pengusaha pemula yang baru mencoba membuka usaha.
Pengusaha lamapun bisa memilih pinjaman gadai dalam bentuk qardhul hassan
apabila usahanya sedang lesu dan ingin dibangkitkan lagi. Perjanjian hutang
piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan adalah perjanjian yang
terhormat, oleh karena itu para pihak yang terlibat harus memperlakukan satu
samalain secara terhormat pula. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban
diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya
perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh
barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedan pendapat, maka perbedaan pendapat
itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau pengadilan.
Biaya
yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya -biaya yang nyata- nyata
diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan
biaya akte notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai
mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit
box) di bank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya dilarang
dikenakan.
b. Perjanjian
hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Seorang
peminjam dan pemberi pinjaman dapat memilih pinjaman gadai dalam bentuk
mudharabah, apabila kedua belah pihak telah menghitung bahwa usaha yang akan
dijalankan
layak dan secara ekonomis akan menguntungkan. Perjanjian hutang piutang dengan
gadai dalam bentuk mudharabah adalah perjanjian yang mempertemukan antara
pengusaha yang ahli dalam bidangnya tetapi hanya mempunyai harta tidak lancar
dengan pihak lain yang mempunyai cukup dana tetapi tidak mempunyai bidang
usaha.
Kedua
pihak kemudian sepakat untuk pihak peminjam menjalankan usaha sedang pihak
pemberi pinjaman hanya memberikan dana yang diperlukan tanpa campur tangan
dalam usaha itu dengan agunan barang gadai. Keduanya juga sepakat pada suatu
porsi bagi hasil tertentu dari usaha yang dijalankan pada saat jatuh tempo
semua hak dan kewajiban diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu
melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus
mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat,
maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau
pengadilan.
Biaya
yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya–biaya yang nyata-nyata diperlukan
untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti: bea materai, dan biaya akte
notaris, juga biaya – biaya usaha yang layak selain itu untuk keutuhan dan
pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat
penyimpanan harta (save deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga
uang apapun namanya juga dilarang dikenakan.
Lembaga
gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah)
khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat
dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan
sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.
Sebagaimana
halnya dengan lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi, lebaga syariah
untuk hubungan antara pribadi dengan bank syariah juga mempunyai dua bentuk,
yaitu perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Operasionalsasi kedua bentuk tersebut sama dengan operasionalisasi lembaga gadai
syariah pada hubungan antar pribadi tersebut diatas.
Dari
uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa lembaga gadai syariah pada
perbankan syariah adalah hal yang lazim ada. Karena adanya hambatan hukum
positif yang kita warisi dari pemerintahan kolonial, menyebabkan bank sekarang
ini tidak diperkenankan menerima agunan dan menyimpan gadai barang bergerak.
Namun menurut berita dalam praktek banyak bank-bank terutama yang berkantor
diwilayah kecamatan yang melakukan praktek menerima gadai barang bergerak terutama
dalam bentuk perhiasan.
Pemisahan
jenis barang gadai inilah yang menyebabkan adanya jawatan yang khusus didirikan
untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pinjaman gadai barang bergerak. Tujuan
semula dari jawatan ini adalah semata-mata untuk membantu masyarakat yang
membutuhkan kredit kecil. Modal jawatan untuk operasional dan pengembangan
semula dipasok dari anggaran negara sehingga misi utamanya adalah sosial.
Tujuan mencari untung tidak ditonjolkan dan jawatan dinilai cukup baik apabila hasil
usahanya dapat menutup biaya (breakeven). Dengan misi sosial yang sesuai dengan
misi al-qardhul hassan pada gadai syariah, maka perlu dicari dan dipertahankan
bentuk badan usaha yang cocok. Sesuai dengan panduan syariah perusahaan dapat
saja mendapatkan keuntungan yang besar tetapi hanya mungkin apabila dana yang
tersedia disalurkan dalam perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk
al-mudharabah.
Karena
gadai dalam hukum islam adalah merupakan pelengkap dari hubungan
hutang-piutang, maka operasionalisasi gadai syariah pada perusahaan bank
syariah sudah berjalan walaupun perlu penyempurnaan. Sedang pada perusahaan
pegadaian yang sudah ada hanya dimungkinkan apabila ada pemahaman kemauan yang
kuat dari pimpinan dan seluruh jajarannya untuk menerapkan perjanjian hutang
piutang gadai dalam bentuk alqardhul hassan dan al-mudharabah. Sumber-sumber
modal tentu tidak lagi dicari dari bank yang memungut bunga dan obligasi yang
dijual kepada masyarakatpun tidak dengan sistem bunga tetapi dengan sistem bagi
hasil.
Adanya
keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk
perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai
perusahaan yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam. Untuk
mengakomodir keinginan ini perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain :
aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek
kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain.
Prospek
Pegadaian Syariah
Dengan
asumsi bahwa pemerintah mengizinkan berdirinya perusahaan gadai syariah maka
yang dikehendaki adalah perusahaan yang cukup besar yaitu yang mempunyai
persyaratan dua kali modal disetor setara dengan perusahaan asuransi (minimum
dua kali lima belas milyar rupiah atau sama dengan tiga puluh milyar rupiah),
maka untuk mendirikan perusahaan seperti ini perlu pengkajian kelayakan usaha
yang hati-hati dan aman.
Prospek suatu
perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisa yang disebut SWOT
atau dengan meneliti kekuatan (Strength), kelemahannya (Weakness), peluangnya
(Oportunity), dan ancamannya (Threat), sebagai
berikut:
a.
Kekuatan (Strength) dari sistem gadai syariah.
(1). Dukungan
umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.
Perusahaan
gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Islam di Indonesia, bahkan sejak
masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan besarnya harapan
dan dukungan umat Islam terhadap adanya pegadaian syariah.
(2). Dukungan
dari lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.
Adanya
pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam adalah
sangat penting untuk menghindarkan umat Islam dari kemungkinan terjerumus
kepada yang haram. Oleh karena itu pada konferensi ke 2 Menterimenteri Luar
Negeri negara muslim di seluruh dunia bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan
telah sepakat untuk pada tahap pertama mendirikan Islamic Development Bank
(IDB) yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
IDB
kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974 dimana Indonesia
menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB pada Articles of Agreement-nya
pasal 2 ayat XI akan membantu berdirinya bank dan lembaga keuangan yang akan
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam di negara-negara
anggotanya.
Beberapa
bank Islam yang berskala internasional telah datang ke Indonesia untuk
menjajagi kemungkinan membuka lembaga keuangan syariah secara patungan. Hal ini
menunjukkan besarnya harapan dan dukungan lembaga keuangan internasional
terhadap adanya lembaga keuangan syariah di Indonesia.
(3). Pemberian
pinjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman mudharabah dengan sistem
bagihasil pada pegadaian syariah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
(a). Penyediaan
pinjaman murah bebas bunga disebut al-qardhul hassan adalah jenis pinjaman
lunak yang diperlukan masyarakat saat ini mengingat semakin tingginya tingkat
bunga. Penyetaraannya dengan perusahaan asuransi karena pada usaha gadai tidak
diperkenankan menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan (giro, tabungan,
deposito). Selain daripada itu perusahaan asuransi juga mmeberikan pinjaman
kepada pemegang polis dengan agunan polis.
(b).
Penyediaan pinjaman mudharabah mendorong terjalinnya kebersamaan antara
pegadaian dan nasabahnya dalam menghadapi resiko usaha dan membagi keuntungan
/kerugian secara adil.
(c). Pada
pinjaman mudharabah, pegadaian syariah dengan sendirinya tidak akan membebani
nasabahnya dengan biaya-biaya tetap yang berada di luar jangkauannya. Nasabah
hanya diwajibkan membagihasil usahanya sesuai dengan perjanjian yang telah
ditetapkan sebelumnya. Bagihasil kecil kalau keuntungan usahanya kecil dan
bagihasil besar kalau hasil usahanya besar.
(d). Investasi
yang dilakukan nasabah pinjaman mudharabah tidak tergantung kepada tinggi
rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya uang (biaya bunga pinjaman) yang
harus diperhitungkan.
(e). Pegadaian
syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak
moneter baik dalam negeri maupun internasional karena kegiatan operasional bank
ini tidak menggunakan perangkat bunga.
Dengan
mengenali kekuatan dari pegadaian syariah, maka kewajiban kita semua untuk
terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki perusahaan gadai dengan sistem
ini.
b.
Kelemahan (weakness) dari sistem mudharabah.
(1).
Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang
terlibat dalam perjanjian bagihasil adalah jujur dapat menjadi bumerang karena
pegadaian syariah akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang beritikad tidak
baik. Contoh : Pinjaman mudharabah yang diberikan dengan sistem bagi hasil akan
sangat bergantung kepada kejujuran dan itikad baik nasabahnya.
Bisa saja
terjadi nasabah melaporkan keadaan usaha yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Misalnya suatu usaha yang untung dilaporkan rugi sehingga pegadaian
tidak memperoleh bagian laba.
(2). Memerlukan
perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya yang
dibolehkan dan bagian laba nasabah yang kecil-kecil. Dengan demikian
kemungkinan salah hitung setiap saat bisa terjadi sehingga diperlukan
kecermatan yang lebih besar.
(3). Karena
membawa misi bagihasil yang adil, maka pegadaian syariah lebi banyak memerlukan
tenaga-tenaga profesional yang andal. Kekeliruan dalam menilai kelayakan proyek
yang akan dibiayai dengan sistem bagi hasil mungkin akan membawa akibat yang
lebih berat daripada yang dihadapi dengan cara konvensional yang hasl
pendapatannya sudah tetap dari bunga.
(4). Karena
pegadaian syariah belum dioperasikan di Indonesia, maka kemungkinan disana-sini
masih diperlukan perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan dan
pengawasannya. Masalah adaptasi sistem pembukuan dan akuntansi pegadaian
syariah terhadap sistem pembukuan dan akuntansi yang telah baku, tremasuk hal
yang perlu dibahas dan diperoleh kesepakatan bersama.
Dengan
mengenali kelemahan-kelemahan ini maka adalah kewajiban kita semua untuk
memikirkan bagaimana mengatasinya dan menemukan penangkalnya.
c. Peluang (Opportunity) dari Pegadaian Syariah
c. Peluang (Opportunity) dari Pegadaian Syariah
Bagaimana
peluang dapat didirikannya pegadaian syariah dan kemungkinannya untuk tumbuh
dan berkembang di Indonesia dapat dilihat dari pelbagai pertimbangan yang
membentuk peluang-peluang dibawah ini :
1. Peluang
karena pertimbangan kepercayaan agama
(a). Adalah
merupakan hal yang nyata didalam masyarakat Indonesia khususnya yang beragama
Islam, masih banyak yang menganggap bahwa menerima dan/atau membayar bunga
adalah termasuk menghidup suburkan riba. Karena riba dalam agama Islam
jelas-jelas dilarang maka masih banyak masyarakat Islam yang tidak mau memanfaatkan
jasa pegadaian yang telah ada sekarang.
(b).
Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembagunan di sektor agama
memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondok-pondok pesantren,
sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, baitul-mal, dan sebagainya yang belum
memanfaatkan jasa pegadaian yang sudah ada.
(c). Sistem
pengenaan biaya uang / sewa modal dalam sistem pegadaian yang berlaku sekarang
dikhawatirkan mengandung unsur-unsur yang tidak sejalan dengan syariah Islam,
yaitu antara lain :
- Biaya ditetapkan dimuka secara pasti (fixed), dianggap mendahului takdir karena seolah-olah peminjam uang dipastikan akan memperoleh keuntungan sehingga mampu membayar pokok pinjaman dan bunganya pada waktu yang telah ditetapkan (lihat surat Luqman ayat 34).
- Biaya ditetapkan dalam bentuk prosentase (%) sehingga apabila dipadukan dengan unsur ketidakpastian yang dihadapi manusia, secara matematis dengan berjalannya waktu akan bisa menjadikan hutang berlipat ganda (lihat surat Al-Imran ayat 130).
- Memperdagangkan/menyewakan barang yang sama dan sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah yang masih berlaku, dll) dengan memperoleh keuntungan/kelebihan kualitas dan kuantitas, hukumnya adalah riba (lihat terjemah Hadits Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no.1551 s/d 1567).
- Membayar hutang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti yang dicontohkan dalam Al-Hadits, harus ada dasar sukarela dan inisiatifnya harus datang dari yang punya hutang pada waktu jatuh tempo, bukan karena ditetapkan dimuka dan dalam jumlah yang pasti (fixed) (periksa terjemah Hadis Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no.1569 s/d 1572)
Unsur-unsur
yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan syariat Islam tersebut diataslah yang
ingin dihindari dalam mengelola pegadaian syariah.
(2). Adanya
peluang ekonomi dari berkembangnya pegadaian syariah
(a). Selama
Pronas (dulu, Repelita) diperlukan pembiayaan pembangunan yang seluruhnya
diperkirakan akan mencapai jumlah yang sangat besar. Dari jumlah tersebut
diharpkan sebagian besar dapat disediakan dari tabungan dalam negeri dan dari
dana luar negeri sebagai pelengkap saja. Dari tabungan dalam negeri diharapkan
dapat dibentuk melalui tabungan pemerintah yang kemampuannya semakin kecil
dibandingkan melalui tabungan masyarakat yang melalui sektor perbankan dan
lembaga keuangan lainnya.
(b). Mengingat
demikian besarnya peranan yang diharapkan dari tabungan masyarakat melalui
sektor perbankan maka perlu dicarikan berbagai jalan dan peluang untuk
mengerahkan dana dari masyarakat. Pegadaian berfungsi mencairkan (dishoarding)
simpanan-simpanan berupa perhiasan dan barang tidak produktif yang kemudian
diinvestasikan melalui mekanisme pinjaman mudharabah.
(c). Adanya
pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari ketentuan
yang berlaku akan memperkaya khasanah lembaga keuangan di Indonesia. Iklim baru
ini akan menarik penanaman modal di sektor lembaga keuangan khususnya IDB dan
pemodal dari negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah.
(d). Konsep
pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan perdagangan
serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi resiko usaha dan membagi
hasil usaha, akan memberikan sumbangan yang besar kepada perekonomian Indonesia
khususnya dalam menggiatkan investasi, penyediaan kesempatan kerja, dan
pemerataan pendapatan.
Dari uraian
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mengingat pegadaian syariah adalah sesuai
dengan prinsip-prinsip syariat Islam, maka perusahaan gadai dengan sistem ini
akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali di Indonesia.
Dengan sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum yang berlaku,
peluang untuk dapat dikembangkannya pegadaian syariah cukup besar.
d.
Ancaman (threat) dari pegadaian syariah
Ancaman
yang paling berbahaya ialah apabila keinginan akan adanya pegadaian syariah itu
dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Akan ada pihak-pihak yang akan
menghalangi berkembangnya pegadaian syariah ini semata-mata hanya karena tidak
suka apabila umat Islam bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka tidak
mau tahu bahwa pegadaian syariah itu jelas-jelas bermanfaat untuk semua orang
tanpa pandang suku, agama, ras, dan adat istiadat. Isu primordial,
eksklusivisme atau sara mungkin akan ilontarkan untuk mencegah berdirinya
pegadaian syariah.
Ancaman
berikutnya adalah dari mereka yang merasa terusik kenikmatannya mengeruk
kekayaan rakyat Indonesia yang sebagian terbesar beragama Islam melalaui sistem
bunga yang sudah ada. Munculnya pegadaian syariah yang menuntut pemerataan
pendapatan yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap
status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Isu tentang
ketidakcocokan dengan sistem internasional berlaku di seluruh dunia mungkin
akan dilontarkan untuk mencegah berkembangnya di tengah-tengah mereka pegadaian
syariah.
Dengan
mengenali ancaman-ancaman terhadap dikembangkannya pegadaian syariah ini maka
diharapkan para cendekiawan muslim dapat berjaga-jaga dan mengupayakan
penangkalnya.
Dari
analisa SWOT tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pegadaian syariah
mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum Pegadaian yang telah
mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian syariah yang baru. Prospek ini
akan lebih cerah lagi apabila kelemahan (weakness) sistem mudharabah
dapat dikurangi dan ancaman (threat) dapat diatasi.
Perkembangan
Pegadaian Syariah di Indonesia
Berdirinya
pegadaian syariah, berawal pada tahun 1998 ketika beberapa General Manager
melakukan studi banding ke Malaysia. Setelah melakukan studi banding, mulai
dilakukan penggodokan rencana pendirian pegadaian syariah. Tapi ketika itu ada
sedikit masalah internal sehingga hasil studi banding itu pun hanya ditumpuk.
Pada
tahun 2000 konsep bank syariah mulai marak. Saat itu, Bank Muamalat Indonesia
(BMI) menawarkan kejasama dan membantu segi pembiayaan dan pengembangan. Tahun
2002 mulai diterapkan sistem pegadaiaan syariah dan pada tahun 2003 pegadaian
syariah resmi dioperasikan dan pegadaian cabang Dewi Sartika menjadi kantor
cabang pegadaian pertama yang menerapkan sistem pegadaian syariah.
Prospek
pegadaian syariah di masa depan sangat luar biasa. Respon masyarakat terhadap
pegadaian syariah ternyata jauh lebih baik dari yang diperkirakan. Menurut
survei BMI, dari target operasional tahun 2003 sebesar 1,55 milyar rupiah
pegadaian syariah cabang Dewi Sartika mampu mencapai target 5 milyar rupiah.
Pegadaian
syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan.
Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan seperti yang
sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya
pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan
dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvensional, biaya yang harus
dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan.
Program Syariah Perum Pegadaian mendapat
sambutan positif dari masyarakat. Dari target omzet tahun 2006 sebesar Rp 323
miliar, hingga September 2006 ini sudah tercapai Rp 420 miliar dan pada akhir
tahun 2006 ini diprediksi omzet bisa mencapai Rp 450 miliar.
Bahkan Perum Pegadaian Pusat menurut rencana akan
menerbitkan produk baru, gadai saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ), paling lambat
Maret 2007. Manajemen Pegadaian melihat adanya prospek pasar yang cukup bagus
saat ini untuk gadai saham.
Bisnis pegadaian syariah tahun 2007 ini cukup
cerah, karena minta masyarakat yang memanfaatkan jasa pegadaian ini cukup
besar. Itu terbukti penyaluran kredit tahun 2006 melampaui target.
Pegadaian cabang Majapahit Semarang misalnya,
tahun 2006 mencapai 18,2 miliar. Lebih besar dari target yang ditetapkan
sebanyak 11,5 miliar. Jumlah nasabah yang dihimpun sekitar 6 ribu orang dan
barang jaminannya sebanyak 16.855 potong.
Penyaluran kredit pegadaian
syariah Semarang ini berdiri tahun 2003, setiap tahunnya meningkat cukup
signifikan dari Rp 525 juta tahun 2004 meningkat menjadi Rp 5,1 miliar dan
tahun 2006 mencapai Rp 18,4 miliar. Mengenai permodalan hingga saat ini tidak
ada masalah. Berapapun permintaan nasabah asal ada barang jaminan akan dipenuhi
saat itu pula bisa dicairkan sesuai taksiran barang jaminan tersebut. Demikian prospek pegadaian syariah ke depan, cukup cerah.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Pemikiran tentang berdirinya
pegadaian syariah adalah merupakan tanda syukur kita kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan nikmat iman Islam dan telah diijinkannya oleh Pemerintah
berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan prinsip
syariat Islam.
b. Pegadaian syariah mempunyai landasan
hukum syariat yang kuat dalam ajaran Islam. Hal-hal yang perlu mendapat
perhatian adalah unsur-unsur gadai, rukun dan sahnya akad, barang yang boleh
digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan pemilikan barang gadai.
c. Barang gadaian syariah
adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu
atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat adalah merupakan
salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah
al-qardhul hassan.
d. Hutang piutang dalam bentuk
al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat
e. dipergunakan untuk keperluan
sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih
qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb
al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.
f. Untuk nasabah yang memilih
pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah maka fungsi gadai disini adalah
mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta beku (hoarding) yang tidak
produktif.
g. Lembaga gadai syariah perusahaan
bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal, sedang nasabahnya bisa
bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib tergantung
alternatif yang dipilih.
h. Lembaga gadai syariah untuk
hubungan antar pribadi sebenarnya sudah operasional karena setiap orang bisa
melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai syariah.
i. Lembaga gadai syariah
untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah) khususnya gadai
fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat dikemukakan disini
adalah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan sertifikat tanah,
sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor
(BPKB), dll.
j. Aspek-aspek penting
yag perlu diperhatikan untuk mendirikan lembaga gadai perusahaan adalah aspek
legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan,
aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dll.
k.
Prospek pegadaian syariah cukup pesat dan cerah, minat masyarakat semakin hari
semakin meningkat. Apalagi pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian
bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap
memperoleh keuntungan.
Chaeruddin Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1994) hal 115-116, lihat juga: Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,
(Jakarta: Rajawali Press, 2002) hal 107-108.
Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Terj
Abdul Malik Idris, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal 143.
Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah
fil-Islam , terj Anshari Umar Sitanggal, (Bandung: Al-Ma’arif, 1985), hal
180.
Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi
(Kumpulan Hadits-hadits Pilihan tentang Ekonomi), (Jakarta: PT. Bank Muamalat
Indonesia, 1996), hal 179-184.
Jurnal Ekonomi Syariah, Prospek Pegadaian Syariah di Indonesia,
(Yogyakarta:Pusat Studi Perbankan Syariah STIE “SBI”, 1997).
Agreement Establishing the Islamic Development Bank, (Jeddah:Daar
al-Asfahani Printing Press,1994) hal 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar