Musyarakah
dan Mudharabah
A. Musyarakah
- Pengertian
Secara bahasa musyarakah berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu
modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam istilah fikih syirkah adalah suatu akad antara dua orang atau lebih untuk
berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan.
Menurut
Hanafiyah syirkah adalah :
Perjanjian
antara dua pihak yang bersyarikat mengenai pokok harta dan keuntungannya.
Menurut
ulama Malikiyah syirkah adalah :
Keizinan
untuk berbuat hukum bagi kedua belah pihak, yakni masing-masing mengizinkan
pihak lainnya berbuat hukum terhadap harta milik bersama antara kedua belah
pihak, disertai dengan tetapnya hak berbuat hukum (terhadap harta tersebut)
bagi masing-masing.
Menurut
Hanabilah :
Berkumpul
dalam berhak dan berbuat hukum.
Sedangkan menurut
Syafi‟iyah ::
Tetapnya hak
tentang sesuatu terhadap dua pihak atau lebih secara merata.
Menurut Latifa
M.Algoud dan Mervyn K. Lewis
Musyarakah
adalah kemitraan dalam suatu usaha, dimana dua orang atau lebih menggabungkan
modal atau kerja mereka, untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak dan
tanggung jawab yang sama. Sedangkan menurut Sofiniyah Ghufron dkk.,
al-musyarakah atau syirkah adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua
pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan
produktif, di mana keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
Meskipun
rumusan yang dikemukakan para ahli tersebut redaksional berbeda, namun dapat
difahami intinya bahwa syirkah “adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak
atau beberapa pihak, baik mengenai modal ataupun pekerjaan atau usaha untuk
memperoleh keuntungan bersama”.
Dasar hukum
musyarakah antara lain firman Allah pada Surat An-Nisak ayat 12 yang artinya:
“Dan jika saudara-saudara itu lebih dua orang, maka mereka bersyarikat pada
yang sepertiga itu”,.dan juga hadits Nabi SAW yang berbunyi: Artinya : “Saya
yang ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak
mengkhianati yang lain, tetapi apabila salah satunya mengkhianati yang lain,
maka aku keluar dari keduanya. HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim.
- Landasan Syariah
Akad syirkah
ini mendapatkan landasan syariahnya dari al-Qur’an, hadis dan ijma’.
1) Dari
al-Qur’an
” Maka
mereka berserikat dalam sepertiga” Q.S. An-Nisa’ : 12. Ayat ini sebenarnya
tidak memberikan landasan syariah bagi semua jenis syirkah, ia hanya memberikan
landasan kepada syirkah jabariyyah ( yaitu perkongsian beberapa orang yang
terjadi di luar kehendak mereka karena mereka sama-sama mewarisi harta pusaka).
” Dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu benar-benar berbuat
zalim kepada sebagian lainnya kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal sholeh”. Q.S. Shod: 24. Ayat ini mencela perilaku orang-orang yang
berkongsi atau berserikat dalam berdagang dengan menzalimi sebagian dari mitra
mereka. Kedua ayat al-Qur’an ini jelas menunjukkan bahwa syirkah pada
hakekatnya diperbolehkan oleh risalah-risalah yang terdahulu dan telah
dipraktekkan.
2) Dari Sunnah
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT telah
berfirman : Aku adalah mitra ketiga dari dua orang yang bermitra selama salah
satu dari kedunya tidak mengkhianati yang lainnya. Jika salah satu dari
keduanya telah mengkhianatinya, maka Aku keluar dari perkongsian itu”. H. R.
Abu Dawud dan al-Hakim. Arti hadis ini adalah bahwa Allah SWT akan selalu
bersama kedua orang yang berkongsi dalam kepengawasanNya, penjagaanNya dan
bantuanNya. Allah akan memberikan bantuan dalam kemitraan ini dan menurunkan
berkah dalam perniagaan mereka. Jika keduanya atau salah satu dari keduanya
telah berkhianat, maka Allah meninggalkan mereka dengan tidak memberikan berkah
dan pertolongan sehingga perniagaan itu merugi. Di samping itu masih banyak
hadis yang lain yang menceritakan bahwa para sahabat telah mempraktekkan
syirkah ini sementara Rasulullah SAW tidak pernah melarang mereka. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa Rasulullah telah memebrikan ketetapan kepada mereka.
3) Ijma’
Kaum
Muslimin telah sepakat dari dulu bahwa syirkah diperbolehkan, hanya saja mereka
berbeda pandangan dalam hukum jenis-jenis syirkah yang banyak variasinya itu.
- Macam-macam musyarakah
Secara garis
besar musyarakah terbagi dua, yang pertama musyarakah tentang kepemilikan
bersama, yaitu musyarakah yang terjaIi tanpa adanya akad antara kedua pihak.
Ini ada yang atas perbuatan manusia, seperti secara bersama-sama menerima hibah
atau wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama
menerima hibah atau menerima wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan
manusia, seperti bersama-sama menjadi ahli waris.
Bentuk kedua
adalah musyarakah yang lahir karena akad atau perjanjian antara pihak-pihak
(syirkah al-“uqud). Ini ada beberapa macam:
a. Syirkah Inan
Syirkah Inan
adalah Kerjasama antara 2 pihak atau lebih, setiap pihak menyumbangkan modal
dan menjalankan usaha atau bisnis.
Contoh bagi
syirkah inan: Ibrahim dan Omar bekerjasama menjalankan perniagaan burger
bersama-sama dan masing-masing mengeluarkan modal 1 juta rupiah. Kerja sama ini
diperbolehkan berdasarkan As-Sunnah dan ijma’ sahabat. Disyaratkan bahwa modal
yang dikongsi adalah berupa uang. Modal dalam bentuk harta benda separti
kereta/gerobak harus diakadkan pada awal transaksi. Kerja sama ini dibangunkan
oleh konsep perwakilan(wakalah) dan kepercayaan(amanah). Sebab masing-masing
pihak memberi/berkongsi modal kepada rekan kerjanya berarti telah memberikan
kepercayaan dan mewakilkan usaha atau bisnisnya untuk dikelola.
Keuntungan
usaha berdasarkan kesepakatan semua pihak yang bekerjasama, manakala kerugian
berdasarkan peratusan modal yang dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-Jami’
meriwayatkan dari Ali ra. yang mengatakan: “Kerugian bergantung kepada modal,
sedangkan keuntungan bergantung kepada apa yang mereka sepakati”
b. Syirkah
Abdan
Syirkah
Abdan adalah kerjasama 2 orang atau lebih yang hanya melibatkan tenaga(badan)
mereka tanpa kerjasama modal.
Sebagai
contoh: Jalal adalah Ahli bangunan rumah dan Rafi adalah Ahli elektrik yang
berkerjasama menyiapkan projek mebangun sebuah rumah. Kerjasama ini tidak harus
mengeluarkan uang atau biaya. Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan mereka.
Syirkah
abdan hukumnya mubah berdasarkan dalil As-sunnah. Ibnu mas’ud pernah berkata “Aku
berkerjasama dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqqash mengenai harta
rampasan perang badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan sementara aku dan Ammar
tidak membawa apa pun” (HR Abu Dawud dan Atsram). Hadist ini diketahui
Rasulullah saw dan membenarkannya.
c. Syirkah
Mudharabah
Syirkah
Mudharabah adalah syirkah dua pihak atau lebih dengan ketentuan. satu pihak
menjalankan kerja (amal) sedangkan pihak lain mengeluarkan modal (mal).
(An-Nabhani, 1990: 152).
Istilah
mudharabah dipakai oleh ulama Iraq, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh.
(Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Sebagai contoh: Khairi sebagai
pemodal memberikan modalnya sebanyak 500 ribu kepada Abu Abas yang bertindak
sebagai pengelola modal dalam pasaraya ikan.
Ada 2 bentuk
lain sebagai variasi syirkah mudharabah.
Pertama, 2
pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan mengeluarkan modal sementara
pihak ketiga (katakanlah C) memberikan menjalankan kerja sahaja.
Kedua, pihak
pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus,
sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal tanpa
konstribusi kerja.
Kedua-dua
bentuk syirkah ini masih tergolong dalam syirkah mudharabah (An-Nabhani, 1990:152).
Dalam syirkah mudharabah, hak melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak
pengelola. Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian,
pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada
keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola,
sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah
berlaku wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung
kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990:
152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian jika kerugian itu
terjadi kerana melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
d. Syirkah
Wujuh
Disebut
Syirkah Wujuh kerana didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau keahlian (wujuh)
seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak
(misalnya A dan B) yang sama-sama melakukan kerja (amal), dengan pihak ketiga
(misalnya C) yang mengeluarkan modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah
tokoh masyarakat.
Syirkah
semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku
ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya. (An-Nabhani, 1990:154) Bentuk
kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang bersyirkah
dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak. Misalnya A dan
B tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara
membeli barang dari seorang pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual
barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam
syirkah kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan
nisbah barang dagangan yang dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh
masing-masing pengusaha wujuh usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh
kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990:154).
Namun
demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam
syirkah wujuh adalah kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata
ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang
tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak
jujur atau suka memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya sah syirkah
wujuh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang
dia dianggap memiliki kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah) yang tinggi
misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
e. Syirkah
Mufawadhah
Syirkah
Mufawadhah adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang menggabungkan semua
jenis syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan, mudharabah dan wujuh).
Syirkah
mufawadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap
jenis syirkah yang sah berdiri sendiri maka sah pula ketika digabungkan dengan
jenis syirkah lainnya. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya;
yaitu ditanggung oleh pemodal sesuai dengan nisbah modal (jika berupa syirkah
inan) atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudharabah) atau
ditanggung pengusaha usaha berdasarkan peratusan barang dagangan yang dimiliki
(jika berupa syirkah wujuh).
Contoh: A
adalah pemodal, menyumbang modal kepada B dan C, dua jurutera awam yang
sebelumnya sepakat bahwa masing-masing melakukan kerja. Kemudian B dan C juga sepakat
untuk menyumbang modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada
adalah syirkah ‘abdan yaitu B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan
memberikan konstribusi kerja sahaja.
Lalu, ketika
A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga wujud
syirkah mudharabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai
pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan suntikan modal
di samping melakukan kerja, berarti terwujud syirkah inan di antara B dan C.
Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya berarti terwujud syirkah wujuh antara B dan C. Dengan demikian,
bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada
yang disebut syirkah mufawadhah.
- Rukun dan Syarat Syarikat Al-‘Uqud
Menurut
Hanafiyah untuk terjadinya syarikah al-‘uqud, maka harus ada ijab dan qabul.
Sedangkan menurut Jumhur, rukunnya ada tiga, yaitu: a. Dua orang yang berakal
sehat, b. Objek yang diperjanjikan dan c. Lafaz akad yang sesuai dengan isi.
Lebih lanjut Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad pada umumnya adalah
al-‘aqidaini, mahallu al-‘aqd dan sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut,
Musthafa Az-Zarqa menambah satu lagi, yakni maudhu’ al-‘uqd (tujuan akad).
Sedangkan
syarat syarikat al-‘uqud pada umumnya adalah:
a. Harus
mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan
b. Pembagian
keuntungan yang jelas
c. Pembagian
keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal
atau kewajiban.
B. Mudharabah
1) Pengertian
Mudharabah
Kata Mudharabah
secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini
termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul,
berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur,
berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna tersebut bergantung pada kata
yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut
terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama
madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi
didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari
pihak lain.” Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka
oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan
menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
Ulama Hijaz
menamakan mudharabah, qiradh. Menurut Jumhur, mudharabah adalah bagian dari
musyarakah.Dalam merumuskan pengertian mudharabah, Wahbah Az-Zuhaily
mengemukakan:
Pemilik modal menyerahkan hartanya
kepada pengusaha untuk diperdagangkan dengan pembagian keuntungan yang
disepakati dengan ketentuan bahwa kerugian ditanggung oleh pemilik modal,
sedangkan pengusaha tidak dibebani kerugian sedikitpun, kecuali kerugian berupa
tenaga dan kesungguhannya.
Menurut
Latifa M.Algaoud dan Mervyn K.Lewis, mudharabah dapat didefinisikan sebagai
sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak, dimana satu pihak,
pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan sejumlah dana
kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau
usaha. Menurut Afzalur Rahman sebagaimana dikutip oleh Gemala Dewi dkk.,
syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu berupa kemitraan terbatas adalah
perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak pertama/supplier/ pemilik
modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak
kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan
bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak
sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka ketentuannya berdasarkan
syara‟ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan kepada harta, tidak
dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.
Al Qur’an
membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al Muzammil ayat
20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia
Allah SWT “.Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribun yang asal
katanya sama dengan mudharabah, yakni dharaba yang berarti
mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.
Secara umum,
mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted
Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted
Investment Account).
a. Mudharabah
Mutlaqah (bebas)
Mudharabah
Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account) adalah akad
kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku
investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau
dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary
right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha,
maupun yang lain.
b. Mudharabah
Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga
dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang
atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha
atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis
usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang
serupa.
2. Syarat dan
Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
a. Syarat Akad
Pembiayaan Mudharabah
Menurut
Sayyid Sabiq, mudharabah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Bahwa modal
itu harus berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk barang perhiasan, emas,
perak, atau barang dagangan, maka tidak sah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Munzir, “ Semua orang yang ilmunya kami jaga /hafal sepakat, bahwa
seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi orang lain untuk suatu mudharabah.
Namun jika modal itu berupa barang yang akan diperdagangkan harus dihitung ke
dalam nilai uang.
2. Bahwa ia
diketahui dengan jelas. Maksudnya agar dapat dibedakan modal yang
diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah pihak sesuai
dengan kesepakatan pada waktu akad.
3. Keuntungan
yang menjadi hak pengelola usaha dengan investor harus jelas nisbahnya
(prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabah dengan penduduk
Khaibar, dengan mengambil separo dari keuntungannya. Motif dari perlunya nisbah
ini ialah untuk menghindari kerugian tertentu dari pihak yang bermudharabah,
jika yang ditetapkan besaran nilai uang, bukan prosentase, karena bisa jadi
keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
4. Menurut
Maliki dan Syafii, mudharabah itu bersifat mutlak. Artinya pemilik
modal/investor tidak membatasi kepada pengelola usaha, untuk menggunakannya
dalam usaha apa dan dimana, kapan, dan dengan siapa harus bermuamallah. Namun
Hanafi dan Hambali membolehkan mudharabah baik dengan mutlak
maupun muqoyyad. Baik dengan persyaratan tertentu atau bebas.
b. Rukun Akad
Pembiayaan Mudharabah
Faktor-faktor
yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah :
1. Pelaku
(pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2. Obyek
mudharabah (modal dan kerja)
3. Persetujuan
kedua belah pihak (ijab- qobul)
4. Nisbah
keuntungan
Keterangan:
Ad.3.1. Pelaku
Dalam akad mudharabah minimal harus
ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak selaku pemilik modal (shahib al-mal),
sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil).
Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidak ada.
Ad.3.2. Obyek
Obyek mudharabah merupakan
konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan
modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan
kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang
atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan
bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill, management skill, dan
lain-lain.
Ad. 3.3. Persetujuan
Faktor ketiga yaitu persetujuan
kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip at-taraddin minkum
(sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk
mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan dana sedangkan pelaksana usaha pun setuju dengan
perannya untuk mengkontribusikan kerja.
Ad. 3.4. Nisbah Bagi Hasil
Faktor yang keempat yaitu Nisbah
adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah. Faktor inilah yang membedakan
akad mudharabah dengan akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang
berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan
imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-māl mendapat imbalan atas penyertaan
modalnya.
C. Musyarakah
dan Mudharabah Pada Bank Syari‟ah
Pada bank
syari‟ah terdapat berbagai bentuk produk/usaha yang didasarkan kepada
ketentuan-ketentuan syari‟ah, antara lain musyarakah dan mudharabah.
1. Bentuk-bentuk
usaha musyarakah pada Bank Syari‟ah
Di antara bentuk usaha musyarakah pada bank syari‟ah,
antara lain:
a. Pada Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syari‟ah :
1) Pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil
2) Memberikan
fasilitas letter of credit (L/C)
3) Penyertaan
modal dengan perusahaan atau bank yang lain yang juga mendasarkan usahanya
kepada prinsip-prinsip syari‟ah.
b. Pada BPR
Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah :
1) Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, ini dapat berupa :
a) Tabungan
b) Deposito
berjangka.
2) Melakukan
penyaluran dana melalui bagi hasil.
2. Bentuk-bentuk
usaha mudharabah pada bank syari‟ah :
Ini dapat berupa :
a. Pada Bank
Umum Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah:
1) Menghimpun
dana dari masyarakat berupa simpanan dalam bentuk tabungan, deposito, atau
bentuk lainnya yang berbentuk mudharabah.
2) Melakukan
penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan usaha.
3) Melakukan
kegiatan usaha lain yang lazim bagi bank sepanjang disetujui oleh Dewan
Syari‟ah Nasional.
b. Pada Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Berdasarkan Prinsip Syari‟ah :
Bentuk-bentuk usaha mudharabah pada
bank ini dapat berupa :
1) Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan atau deposito atau bentuk lain yang
menggunakan bentuk mudharabah.
2) Melakukan
penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan bagi hasil.
3) Melakukan
kegiatan atau usaha lain yang lazim bagi BPR sepanjang disetujui oleh Dewan
Syari‟ah Nasional.
Bentuk-bentuk
musyarakah dan mudharabah ini tidak sama pada setiap bank syari‟ah, sebagai
contoh, menurut Azwar, pada BNI Syari‟ah Cabang Medan, usaha-usaha mudharabah
ada yang dalam bentuk penghimpunan dana, yaitu Tabungan Syariahplus, Deposito
Mudharabah dan THI (Tabungan Haji Indonesia) mudharabah dan dalam bentuk
penyaluran dana berupa pembiayaan usaha (seperti proyek agribisnis dan jasa),
pembiayaan transaksional dan trnsaksi eksport; sedangkan musyarakah adalah
dalam bentuk kemitraan pembiayaan proyek, joint ventura, ekspor/impor, modal
kerja dan investasi.
Sedangkan
pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Paduarta Insani Medan, dalam bentuk
mudharabah antara lain Tabungan Mudharabah Insani dan Deposito Mudharbah
Insani;sedangkan musyarakah antara lain dalam bentuk Pembiayaan Syari‟ah
Insani. Pembiayaan ini dengan menggunakan lembaga jaminan, seperti gadai,
fiducia dan kuasa jual.
II. Upaya
Perbankan Syari‟ah Memelihara Prinsip-prinsip Syari‟ah
Meskipun
suatu lembaga telah menyandang nama syari‟ah, namun tidak tertutup kemungkinan
dalam menjalankan usahanya menyimpang dari nama yang disandang tersebut. Dalam
menjalankan usahanya Bank Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah berupaya menjaga
dan memelihara agar prinsip-prinsip syari‟ah tersebut tetap terpelihara dalam operasionalnya.
Upaya-upaya yang dilakukan tersebut dapat dikemukakan antara lain :
A. Melalui
struktur organisasi
Dalam
struktur organisasi bank syari‟ah, ada lembaga yang bertugas dan
bertanggungjawab memberikan pengawasan terhadap operasional bank syari‟ah,
yakni Dewan Pengawas Syari‟ah. Lembaga ini biasanya ditempatkan pada posisi
setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Anggota Dewan Pengawas Syari‟ah
ditetapkan oleh Rapat Pemegang Saham dari calon yang telah mendapat rekomendasi
dari Dewan Syari‟ah Nasional.
Dewan
Pengawas Syari‟ah bertugas meneliti produk-produk baru bank syari‟ah dan
memberikan rekomendasi terhadap produk-produk baru tersebut serta membuat
pernyataan bahwa bank yang diawasinya masih tetap menjalankan usaha berdasarkan
prinsip-prinsip syari‟ah.
Selain Dewan
Pengawas Syari‟ah, pada tingkat nasional ada pula Dewan Syari‟ah Nasional
(DSN).Lembaga ini didirikan pada tahun 1997, merupakan lembaga otonom di bawah
Majelis Ulama Indonesia yang ketua dan sekretaris umumnya secara ex oficio
dijabat oleh Ketua dan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia. Tugas lembaga ini
antara lain adalah :
1. Mengawasi
produk-produk lembaga keuangan syari‟ah, seperti bank syari‟ah, asuransi
syari‟ah, reksadana syari‟ah, modal ventura dan lain-lain.
2. Meneliti dan
memberi fatwa terhadap produk-produk yang akan dikembangkan pada bank-bank
syari‟ah yang diajukan oleh manajemen bank yang bersangkutan setelah mendapat
rekomendasi dari Dewan Pengawas Syari‟ah.
3. Mengeluarkan
pedoman yang akan digunakan oleh Dewan Pengawas Syari‟ah dalam mengawasi
bank-bank syari‟ah.
4. Merekomendir
para ulama yang akan ditugaskan menjadi anggota Dewan Pengawas Syari‟ah.
Dalam
melaksanakan fungsinya DSN dapat memberikan teguran kepada lembaga keuangan
syari‟ah yang bersangkutan apabila lembaga tersebut menyimpang dari garis
panduan yang ditetapkan. Hal ini terjadi antara lain apabila Dewan Syari‟ah
Nasional menerima laporan dari Dewan Pengawas Syari‟ah tentang penyimpangn
tersebut.
B. Melalui
Bisnis Usaha Yang Dibiayai
Upaya lainnya
dari bank syari‟ah untuk menjaga agar usaha yang dijalankan tetap sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syari‟ah adalah melalui bisnis usaha yang dibiayai. Sebelum
menyetujui usul pembiayaan oleh bank syari‟ah, lebih dahulu diseleksi hal-hal
yang berhubungan dengan usaha pembiayaan tersebut. Ini dilakukan agar jangan
sampai usaha yang dibiayai bertentangan dengan prinsip-prinsip syari‟ah.
Hal-hal yang
diperhatikan sebelum menyetujui usul pembiayaan tersebut antara lain adalah :
1. Apakah obyek
pembiayaan halal atau haram.
2. Apakah obyek
pembiayaan menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat.
3. Apakah
berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila.
4. Apakah obyek
berkaitan dengan perjudian.
5. Apakah usaha
itu berkaitan dengan industri senjata illegal atau berorientasi pada
pembangunan senjata pemusnah massal.
6. Apakah
proyek dapat merugikan syi‟ar Islam, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
C. Lingkungan
Kerja dan Corporate culture
Sebuah bank
syari‟ah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syari‟ah.
Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap
karyawan, sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping
itu karyawan bank syari‟ah harus skillful dan professional (fathanah), dan mampu
melakukan tugas secara team-work, di mana informasi merata di seluruh
fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment,
diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syari‟ah.
III. Sengketa
Bank Syari‟ah
Menurut Sitimegadianty
Adam dan Takdir Rahmadi sebagimana dikutip Rachmadi Usman, dalam kosa kata
Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict” dan “dispute” yang
kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan di antara kedua
pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata conflict sudah
diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata dispute
dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa”. Sebuah konflik, yakni sebuah
situasi dimana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan pada pebedaan kepentingan,
tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan
hanya memendam perasan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah
atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilaman pihak yang merasa dirugikan
telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung
kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.
Sengketa
perbankan syari‟ah di sini maksudnya adalah perbedaan kepentingan di antara dua
pihak atau lebih dalam perbankan syari‟ah yang mengakibatkan tejadinya kerugian
bagi pihak atau pihak-pihak tertentu, dan perbedaan kepentingan atau kerugian
tersebut dinyatakan kepada pihak yang dianggap menjadi penyebab kerugian atau
kepada pihak lain, dan pihak lain tersebut memberikan pendapat yang berbeda.
Dihubungkan
dengan produk-produk musyarakah dan mudharabah pada perbankan syari‟ah, maka
sengketa mungkin saja terjadi dalam lingkup produk pengumpulan dana, seperti
tentang jumlah atau angka-angka tabungan/deposito, atau bila nasabah merasa
bahwa keuntungan yang diterimanya tidak wajar atau menyalahi kesepakatan; juga
dimungkinkan apabila nasabah tidak dapat menarik dananya pada waktu yang
ditentukan dan sebagainya, juga apabila nasabah merasa bahwa dananya telah
digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip
syari‟ah.
Sengketa
mungkin juga terjadi pada produk-produk pembiayaan syari‟ah, seperti dalam hal
terjadi kerugian dalam produk pembiayaan berbentuk mudharabah, lalu bank sebagai
shahibul maal membebankan kerugian tersebut kepada pengusaha/dharib, sedangkan
pengusaha merasa bahwa dirinya tidak bersalah. Juga mungkin apabila pengusaha
tidak menjalankan usahanya dengan sungguh-sungguh atau tidak jujur sehingga
timbul kerugian, atau apabila kejujuran dharib tidak diakui oleh bank dan
sebagainya.
Pada produk
musyarakah sengketa mungkin terjadi karena masing-masing pihak merasa mitranya
tidak jujur, tidak profesional, tidak produktif, tidak efisien atau tidak
maksimal menjalankan usaha bersama sehingga terjadi kerugian.
Apabila
terjadi sengketa syari‟ah, maka berdasarkan penjelasan Pasal 49 Undang-undang
No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,
lembaga yang berwenang mengadilinya adalah Pengadilan Agama. Meskipun demikian,
ada kemungkinan sengketa perbankan syari‟ah tidak diajukan ke Pengadilan Agama.
Ini terjadi apabila dalam perjanjian atau akad produk telah ditentukan
lembaga-lembaga lain atau cara lain yang akan menyelesaikan sengketa. Ini sejalan
dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang kebebasan berkontrak.
Menurut
Suyud Margono, sebagaimana dikemukakan John Marlon M. dalam masyarakat terdapat
berbagai model penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal yang dapat
dijadikan acuan dalam menjawab sengketa yang mungkin timbul, yakni :
1. Proses
konsensus (consensus processes), yakni ombudsman, pencari fakta secara netral
(neutral fact finding), negosiasi (negotiation), mediasi (mediation) dan
konsiliasi (consiliation).
2. Proses ajudikasi
semu (quasi adjudicatory processes), yakni mediasi arbitrase (med-arb),
persidangan mini (mini trial), pemeriksaan juri secara sumir (summary jury
trial) dan evaluasi netral secara dini (early neutral evaluation).
3. Proses
ajudikasi (adjudicative processes), yaitu litigasi (litigation) dan arbitrase
(arbitration).
Khusus untuk
perbankan syari‟ah dan lembaga-lembaga ekonomi syari‟ah pada umumnya lembaga
penyelesaian sengketa di luar pengadilan terutama adalah melalui Badan
Arbitrase Syari‟ah Nasional (BASYARNAS).
Dengan
demikian litigasi atau penyelesaian sengketa melalui gugatan di pengadilan
bukan satu-satunya lembaga atau cara yang dapat menyelesaikan sengketa, sebab
tersedia beberapa alternatif untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan, yakni
arbitrase dan Alternative Dispute Resolution (ADR).
Menurut
Rachmadi Usman[35] istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) menunjukkan
pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui prosedur yang
disepakati para pihak (self-governing system) dengan cara konsultasi, mediasi,
konsiliasi, penilaian ahli, atau arbitrase.
Sepanjang
para pihak ada kesepakatan, mereka dapat menggunakan berbagai alternatif
tersebut, tetapi apabila tidak ada kesepakatan, maka dengan sendirinya pihak
atau pihak-pihak tersebut akan memilih berperkara ke pengadilan. Ini bukan
berarti bahwa suatu sengketa selalu lebih dahulu diajukan kepada ADR sebelum ke
pengadilan. Dalam kenyataan masyarakat luas lebih mengenal pengadilan dari pada
ADR. Namun demikian banyak juga orang yang enggan mengajukan masalahnya ke
pengadilan, antara lain dengan alasan berperkara menambah masalah.
Banyak
kritik dikemukakan mengenai kelemahan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa
perdata. Hal ini kiranya menjadi perhatian segenap aparat peradilan. Berbagai
kelemahan tersebut antara lain:
1. Penyelesaian
sengketa yang lambat
2. Biaya
perkara yang mahal
3. Pengadilan
tidak tanggap
4. Putusan
pengadilan sering tidak menyelesaikan masalah
5. Kemampuan
hakim yang bersifat generalis.
Sorotan terhadap
pengadilan tersebut terutama dikemukakan oleh para pelaku bisnis.Dunia bisnis
menghendaki sistem yang tidak formal dan pemecahan masalah menuju masa depan.
Paradigma sistem seperti ini sulit diatur dalam sistem litigasi karena sistem
litigasi bukan didesain untuk menyelesaikan masalah, melainkan lebih
mengutamakan penyelesaian yang berlandaskan penegakan dan kepastian hukum.
Demikian antara lain kritik yang dihadapkan kepada pengadilan.
Pandangan di
atas tentu harus menjadi perhatian aparatur pengadilan, lebih-lebih Pengadilan
Agama. Oleh sebab itu, sudah sepatutnyalah para hakim Pengadilan Agama berusaha
maksimal agar perkara-perkara perbankan syari‟ah yang diajukan kepadanya dapat
diperiksa, diputus dan diselesaikan dengan berlandaskan kebenaran, keadilan dan
kemanfaatan serta dengan mengedepankan asas sederhana, cepat dan biaya ringan.
Dengan cara itu insya Allah para pencari keadilan akan merasakan bahwa putusan
Pengadilan Agama tentang sengketa ekonomi syari‟ah benar-benar dapat menyelesaikan
masalah, bukan seperti berbagai asumsi yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang
kurang respons terhadap pengadilan, semoga.
ijin ambil refrensinya untuk dipelajari dan didiskusikan sebagai bentuk makalah,. Mr
BalasHapusSangat bermanfaat buat diskusi kelompok
BalasHapus